JURNAL IPS
“ PENGARUH KEKERASAN DALAM
PEMBELAJARAN ANAK
STUDI PADA ANAK SD’’

Nama Nim
Ayunda Rahayu nur setia 063161111021
Cania Utami putri (PGSD-B) 063161111045
Meidha Sri Andami 063161111019
Nuni Rustianti Wijaya 063161111039
Resha Vandayanti 063161111017
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PGSD (A)
PGSD (A)
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SUKABUMI 2011 / 2013
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................i
DAFTAR
ISI.....................................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN.................................................................................1
1.1. Latar
Belakang........................................................................................ 1
1.2. Rumusan
Masalah....................................................................................... 1
1.3. Prosedur Pemecahan Masalah................................................................. 2
1.4. Sistematika
Penulisan.............................................................................. 2
BAB II REVIEW LITERATUR.......................................................................5
2.1. Pengertian
Pendidikan...................................................................... 5
A. Pengertian Pendidikan
Berdasarkan Ruang Lingkup................. 6
1. Pengertian Pendidikan
Maha Luas................................. 6
2. Pengertian pendidikan
Secara Sempit............................ 6
3. Pengertian Pendidikan
Dalam Arti Luas........................ 6
B. Pengertian Pendidikan
Berdasarkan Pendekatan Ilmiah............ 7
C. Pengertian Pendidikan
Berdasarkan Pendekatan Sistem........... 7
2.2. Definisi Kekerasan Pada
Anak......................................................... 8
Faktor-faktor penyebab kekerasan dalam dunia
pendidikan............ 9
2.3. Psikologi
Perkembangan................................................................... 10
2.4. Peran guru dalam
kegiatan belajar mengajar (KBM)....................... 11
2.5. Pengaruh kekerasan guru
terhadap perkembangan psikologi anak.. 12
2.6. Landasan Psikologi
Pendidikan....................................................... 13
A. Pengertian................................................................................... 13
B. Situasi Pergaulan
Pendidikan..................................................... 14
C. Beberapa Dimensi Proses
Pendidikan........................................ 16
D. Tugas-Tugas Pokok
Perkembangan........................................... 16
E. Pemahaman terhadapan
Perkembangan pribadi Anak............... 17
F. Jenis – jenis Upaya
Pendidikan.................................................. 19
BAB III METODOLOGI PENELITIAN.......…………………………21
3.1. Metode
Penelitian............................................................................ 21
1. Subjek
Penelitian................................................................. 21
2. Teknik Pengumpulan
Data.................................................. 22
3. Teknik Analisis
Data........................................................... 26
4. Populasi................................................................................ 26
5. Sampel dan Kriteria
Sampel................................................. 27
BAB IV PEMBAHASAN ……………………………………………………… 28
4.1 Hubungan Pendidikan
Dengan Kekerasan....................................... 28
1. Terminologi
Kekerasan............................................................... 29
2. Bentuk-Bentuk
Kekerasan Pendidikan....................................... 30
3. Faktor-Faktor
Kekerasan Pendidikan.......................................... 31
4. Dampak Kekerasan
Pendidikan Anak......................................... 32
5. Penanggulangan
Kekerasan Terhadap Anak............................... 34
4.2 Peran Guru Dalam
Perkembangan Psikologi Anak Berdasarkan
Landasan Psikologi
Pendidikan............................................................... 36
4.2.1 Pendidikan.............................................................................. . 37
4.2.2 Landasan
Psikolog................................................................... 37
4.2.3 PerkembanganIndividu
dan Faktor YangMempengaruhinya..........37
4.2.4 Pengaruh
Hereditas dan Lingkungan Terhadap perkembangan.......38
a. Nativisme...................................................................... 39
b. Emprisme...................................................................... 39
c. Konvergensi.................................................................. 39
4.2.5 Tahapan dan
Tugas Perkembangan Serta Implikasinya
Terhadap kelakuan pendidik.................................................. 40
a. Tahap dan Tugas
Perkembangan Individu........................ 40
1. Tugas Perkembangan
Masa Bayi dan kanak-kanak
2. Kecil (6
tahun)............................................................ 40
3. Tugas Perkembangan Masa
Kanak-kanak
(6-12
tahun)……......................................................... 41
4. Tugas Perkembangan
Masa Remaja
(12-18
tahun)............................................................... 41
5. Tugas Perkembangan
Pada Masa Dewasa
(18… tahun)................................................................ 41
6. Tugas Perkembangan
Usia lanjut................................42
b. Teori Belajar dan
Implikasinya Terhada pendidikan........ 42
1. Behaviorisme...............................................................42
2. Kognitif.......................................................................43
3. Humanisme..................................................................43
4.3 Dampak Kekerasan Guru
Terhadap Psikologi Anak………………. . 45
BAB V KESIMPULAN............................................................................ . 47
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 49
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan jurnal ilmiah yang berjudul
“Pengaruh Kekerasan dalam Pembelajaran di Bidang Pendidikan studi pada Anak SD
di SDN Sundawenang”. Penulisan jurnal ini merupakan salah satu persyaratan
untuk menyelesaikan tugas mata kuliah IPS SD 1 Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Sukabumi.
Dalam penulisan jurnal ini kami menyampaikan ucapan terimakasih
kepada pihak-pihak yang telah membantu kami.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan jurnal ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu kami menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi
perbaikan ke arah yang lebih baik.
Akhir kata kami sampaikan terimakasih.
Sukabumi,
07 Maret 2013
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Pengertian
kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sejumlah
orang dengan kesengajaan dan dapat menimbulkan rasa ketidak nyamanan dari pihak
yang menjadi objek. Kekerasan juga dapat dikatakan sebagai suatu tindakan yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang baik secara fisik maupun psikis.
Kekerasan juga dapat terjadi di semua kalangan masyarakat, seperti di
lingkungan sekolah, lingkungan kerja, lingkungan kelurga dan di tempat
keramaian. Contohnya kekerasan terjadi dilingkungan sekolah pada saat proses
pembelajaran ketika guru menegur siswa dengan cara membentak, memukul, serta
dilempar penghapus dan penggaris, dijemur di lapangan, dan dipukul, Di samping
itu siswa juga mengalami kekerasan psikis dalam bentuk bentakan dan kata makian.
Pembelajaran
adalah suatu proses yang di rancang oleh guru untuk membangun individu
mempelajari suatu kemampuan melalui tahapan rancangan, pelaksanaan, evaluasi,
dalam kontek kegiatan belajar mengajar serta memperoleh suatu perubahan prilaku
yang baru secara keseluruhan sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri
dalam interaksi dengan lingkungannya.
Kesimpulan
dari kekerasan dan pembelajaran adalah kekerasan dapat mengakibatkan psikis
pada anak menurun atau mengakibatkan anak menjadi takut untuk bersosialisasi,
dengan adanya pembelajaran itu dapat membantu siswa menjadi individu yang lebih
baik serta dengan adanya pembelajaran yang di rancang oleh guru dapat
menimbulkan suatu hasil dari pengalaman tersebut.
1.2
Rumusan Masalah
Dari
uraian di atas, kami mengajukan dua rumusan masalah, yaitu :
a. Bagaimana
pengaruh kekerasan guru terhadap perkembangan psikologi anak?
b. Bagaimana
peran guru dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) pada anak SD?
1.3 Prosedur
Pemecahan Masalah
Untuk memecahkan rumusan masalah diatas, kami
melakukan prosedur pemecahan masalah sebagai berikut :
Mengumpulkan
data, yang diperoleh dari :
a. Penelitian
puataka : Dari internet, buku dan
undang-undang yang berhubungan dengan judul jurnal.
b. Penelitian
lapangan : Wawancara kepada Kepala
Sekolah SDN Sundawenang Kabupaten Sukabumi.
Menganalisis
data yang diperoleh dari tinjauan pustaka dan data yang diperoleh dari hasil
wawancara, dengan proses :
a. Reduksi
Data
Pada tahap ini dilakukan pemilihan tentang relevan
tidaknya antara data dengan rumusan masalah.
b. Display
Data
Pada tahap ini peneliti berupaya mengklasifikasi dan
menyajikan data sesuai dengan pokok permasalahan yang diawali dengan pengkodean
pada setiap subpokok permasalahan.
c. Pengambilan
Kesimpulan
Kegiatan ini dimaksudkan untuk mencari makna data
yang dikumpulkan dengan mencari hubungan, persamaan atau perbedaan.
1.4 Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan
pemahaman terhadap materi dari jurnal ilmiah ini dan agar tidak terjadi
kesimpangsiuran, maka penulis membaginya dalam beberapa bab dan tiap bab dibagi
ke dalam beberapa sub.
Adapun
bab-bab yang dimaksud adalah sebagai berikut :
KATA
PENGANTAR
DAFTAR
ISI
BAB
I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Rumusan Masalah
a. Bagaimana
pengaruh kekerasan guru terhadap perkembangan psikologi anak?
b. Bagaimana
peran guru dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) pada anak SD?
1.3.Prosedur
Pemecahan Masalah
1.4.Sistematika
Penulisan
BAB II REVIEW
LITERATUR
2.1. a.
Pengertian Pendidikan
b.
Psikologi Perkembangan
c.
Pengaruh Kekerasan Guru Terhadap Perkembangan Psikologi anak
d.
Peran Guru Dalam Kegiatan Belajar mengajar (KBM) Pada Anak Sd
e.
Landasan Psikologi Pendidikan
BAB III METODOLOGI
PENELITIAN
Menguraikan langkah-langkah penelitian
yang akan dilakukan dalam proses penyusunan karya tulis ini. Dalam bab 3 ini
menjelaskan metedelogi penelitian, berisi tentang metode yang digunakan, subjek
penelitian, pelaksanaan penelitian, metode pengumpulan data dan hipotesis.
BAB
IV PEMBAHASAN
4.1
Hubungan Pendidkan dengan Kekerasan
4.2 Peran
Guru dalam Perkembangan Psikologi Anak
Berdasarkan Landasan Psikologi Pendidkan
BAB V KESIMPULAN
Bab ini merupakan bagian terakhir atau
kesimpulan dari keseluruhan penulisan jurnal ilmiah ini yang didalamnya memuat
inti pembahasan yang disajikan oleh penulis, sehingga dapat diperoleh pemahaman
serta pengetahuan.
BAB II
RIVIEW LITERATUR
2.1
Pengertian
Pendidikan[1]
Pendidikan dilihat dari sudut pandang tertentu akan
berbeda pengertiannya akan tetap maksudnya tertuju pada peningkatan kualitas
sumber daya manusia. Didalam Undang-Undang Sitem Pendidikan Nasional No.20
Tahun 2003, disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan berencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Menoleh tentang beberapa pengertian pendidikan yang
disampaikan para ahli pendidikan, diantaranya Langeveld, menyebutkan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap pihak
lain yang belum dewasa agar mencapai kedewasaan (M.I Soelaiman, 1985). Soegarda
Poerbakawatja (1982:257) menyebutkan bahwa pengertian pendidikan dapat
diartikan secara luas dan sempit.
Secara luas pendidikan meliputi semua perbuatan dan
usulan dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya,
kecakapannya serta keterampilannya (orang menamakan ini juga “mengalihkan”
kebudayaan atau culturoverdracht) kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya
agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmani maupun rohaniah. Dalam arti
sempit pendidikan sama halnya dengan pengajaran, walaupun demikian di dalam
proses pendidikan akan tercakup pula pengajaran sebagai salah satu bentuk
kegiatan pendidikan.
Sejalan dengan beberapa pendapat ahli pendidikan
tersebut maka pengertian pendidikan pada bahasan ini diuraikan dalam tiga
bagian, yaitu: pengertian pendidikan berdasarkan ruang lingkup, pengertian
pendidikan berdasarkan pendekatan ilmiah, dan pengertian pendidikan berdasarkan
pendekatan sistem.
A.
Pengertian
Pendidikan Berdasarkan Ruang Lingkup
Pengertian pendidikan berdasarkan ruang lingkup
dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu: pengertian pendidikan maha luas,
terbatas dan pengertian pendidikan secara sempit (Redja Mudyarhardjo;
2001:3-16).
1.
Pengertian
Pendidikan Maha Luas
Pengertian pendidikan maha luas mksudnya pendidikan
adalah hidup, pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung
dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup, pendidikan adalah segala situasi
hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu.
2.
Pengertian
Pendidikan Secara Sempit
Pengertian pendidikan secara sempit adalah
pengajaran yang diselenggarakan di sekolah lembaga pendidikan formal.
Pendidikan adalah segala pengaruh yang diupayakan sekolah terhadap anak dan
remaja yang diserahkan kepadanya agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan
kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan dan tugas-tugas sosial (Redja
Mudyahardjo, 2001:6).
3.
Pengertian
Pendidikan Dalam Arti Luas
Pengertian pendidikan dalam arti luas terbatas
adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah
melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan, yang berlangsung di
sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat untuk mempersiapkan peserta didik
agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat
dimasa yang akan datang (Redja Mudyahardjo, 2001:11).
Lingkungan pendidikan tempat berlangsungnya kegiatan
tidak bersifat dimana saja tetapi ditentukan berdasarkan keperluan, artinya
sesuai dengan lingkungan pendidikan mana yang dibutuhkan pada suatu bentuk
pendidikan tertentu, apakah pendidikan formal, nonformal atau pendidikan
informal. Tujuan pendidikan tidak bersifat terpisah-pisah dari setiap kemampuan
yang diperolehnya serta adanya keterpaduan denngan tujuan-tujuann sosial,
dengan demikian tujuan pendidikan adalah sebagai penunjang dalam mencapai
tujuan hidup manusia.
B.
Pengertian
Pendidikan Berdasarkan Pendekatan Ilmiah
Berbicara tentang pendidikan berdasarkan pendekatan
ilmiah maka terlebih dahulu perlu berbicara tentang pendekatan ilmiah dalam
pendidikan.
Ciri-ciri pendekatan ilmiah dalam pendidikan adalah:
(1) analisis, maksudnya menjabarkan sesuatu hal dalam unsur-unsur yang lebih
kecil, karena dalam pendidikan ada batas-batas tertentu dipandang dari sudut
ilmu tertentu, seperti: sosiologi, psikologi, antropologi, politik, ekonomi,
dan sebagainya; (2) deskriptif, maksudnya menggambarkan secara terinci tentang
unsur-unsur kependidikan yang menjadi objek penyelidikannya; (3) empiris,
maksudnya mengungkap prinsip-prinsip pendidikan berdasarkan peristiwa-peristiwa
yang terjadi dalam pendidikan dengan menggunakan prosedur kerja yang cermat,
terencana, melalui pendirian dan berdasarkan pikiran yang logis; (4) mulai
dengan suatu asums. Maksudnya suatu pendapat yang diakui kebenarannya tanpa
pembuktian, dengan kata lain suatu pendapat dalam suatu disiplin ilmu tertentu
dalam pendidikan sudah diakui kebenarannya oleh para pemerhati pendidikan.
Pengertian pendidikan berdasarkan pendekatan ilmiah
artinya berdasarkan pada kajian setiap karakteristik keilmuan dari setiap
disiplin ilmu yang dipersembahkan terhadap pendidikan.
C.
Pengertian
Pendidikan Berdasarkan Pendekatan Sistem
Banyak ahli yang membataskan pengertian sistem,
diantaranya Campbell (1979:3) bahwa: “a
system as any group of interrelated components or part which function together
to achieve a goal”, sistem adalah sekumpulan komponen atau bagian-bagian
yang saling berkaitan satu sama lainyang berfungsi untuk mencapai satu tujuan.
Sistem menurut Elias M Award (1979:4) “… can ce defined as an organized group of
components (subsystems) linked together according to a plan to achieve a
specific objective”, sistem adalah sekumpulan komponen-komponen atau
subsistem yang terorganisir satu sama lain seusai dengan rencana untuk mencapai
tujuan.
Pengertian sistem yang diungkap Umar Tirtarahardja
(1994:59) adalah suatu kesatuan yang integral dari sejumlah komponen,
komponen-komponen tersebut saling berpengaruh dengan fungsinya masing-masing,
tetapi secara fungsi komponen-komponen itu terarah pada pencapaian suatu
tujuan.
Pengertian pendidikan berdasarkan pendekatan sistem,
artinya pendidikan dapat dilihat keseluruhan aspek input, proses dan output.
Pendidikan adalah keseluruhan yang terintegrasi dari setiap aspek pendidikan,
mulai dari input yang diproses atau ditransformasi oleh komponen-komponen
pendidikan yang berhubungan satu sama lain yang sesuai dengan fungsinya
masing-masing berjalan seiring seirama dalam mencapai tujuan pendidikan (output
pendidikan), yaitu manusia terdidik yang mempunyai kemampuan kognitif, afektif
dan psikomotor.
2.1
Definisi
Kekerasan Pada Anak[1]
Pendidikan dan pengajaran memang tidak identik dengan
kekerasan, baik di masa yang lalu apalagi sekarang ini. Tapi kekerasan
sering kali dihubung-hubungkan dengan kedisiplinan dan penerapannya dalam dunia
pendidikan. Istilah “tegas” dalam membina sikap disiplin pada anak didik,
sudah lazim digantikan dengan kata “keras”. Hal ini kemudian ditunjang
dengan penggunaan kekerasan dalam membina sikap disiplin di dunia militer,
khususnya pendidikan kemiliteran. Ketika kemudian cara-cara pendidikan
kemiliteran itu diadopsi oleh dunia pendidikan sipil, maka cara “keras” ini
istilah sekarang adalah kekerasan juga ikut diambil alih di lingkungan sekolah.
Kekerasan dapat terjadi dimana saja, termasuk di sekolah.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh UNICEF (2006) di beberapa
daerah di Indonesia menunjukkan bahwa sekitar 80% kekerasan yang terjadi pada
siswa dilakukan oleh guru.
Belakangan ini masyarakat dikejutkan dengan berita
mengenai seorang guru yang menganiaya salah satu siswanya akibatnya siswa
tersebut harus dirawat di rumah sakit. Kita tahu bahwa sekolah merupakan tempat
siswa menimba ilmu pengetahuan dan seharusnya menjadi tempat yang aman bagi
siswa. Namun ternyata di beberapa sekolah terjadi kasus kekerasan pada siswa
oleh guru. Kekerasan-kekerasan yang dilakukan oleh guru kepada siswa seperti
dilempar penghapus dan penggaris, dijemur di lapangan, dan dipukul. Di samping
itu siswa juga mengalami kekerasan psikis dalam bentuk bentakan dan kata
makian, seperti bodoh, goblok, kurus, ceking dan sebagainya.
Kuriake mengatakan bahwa di Indonesia cukup banyak guru
yang menilai cara kekerasan masih efektif untuk mengendalikan siswa (Phillip,
2007). Padahal cara ini bisa menyebabkan trauma psikologis, atau siswa akan
menyimpan dendam, makin kebal terhadap hukuman, dan cenderung melampiaskan
kemarahan dan agresi terhadap siswa lain yang dianggap lemah. Lingkaran negatif
ini jika terus berputar bisa melanggengkan budaya kekerasan di masyarakat.
Faktor-faktor penyebab kekerasan dalam dunia pendidikan
Penyebab kekerasan terhadap peserta didik bisa terjadi
karena guru tidak paham akan makna kekerasan dan akibat negatifnya. Guru
mengira bahwa peserta didik akan jera karena hukuman fisik. Sebaliknya, mereka
membenci dan tidak respek lagi padanya. Kekerasan dalam pendidikan terjadi
karena kurangnya kasih sayang guru. Seharusnya guru memperlakukan murid sebagai
subyek, yang memiliki individual
differences (Eko
Indarwanto,2004). Juga, karena kurang kompetensi kepala sekolah membimbing dan
mengevaluasi pendidik di sekolahnya. Orangtua mesti ikut mengurangi mengatasi
kekerasan di sekolah dalam bentuk hukuman fisik, karena sekolah bukan gedung
pengadilan. Komite Sekolah mesti mengatasi dan meniadakan praktik kererasan,
yang bertentangan dengan tujuan pendidikan di sekolah, agar tidak muncul kelak
guru yang kasar, tidak menghormati orang lain, pemarah, pembenci dan
sebagainya. Kekerasan bisa terjadi karena pendidik sudah tidak atau sangat
kurang memiliki rasa kasih sayang terhadap murid, atau dahulu ia sendiri
diperlakukan dengan keras.
Selain itu kekerasan oleh guru pada siswa disebabkan oleh
faktor-faktor sebagai berikut:
Kurangnya pengetahuan guru bahwa kekerasan itu tidak
efektif untuk memotivasi siswa atau merubah perilaku.
a.
Persepsi guru yang
parsial dalam menilai siswa. Misalnya, ketika siswa melanggar, bukan sebatas
menangani, tapi mencari tahu apa yang melandasi tindakan itu,
b.
Adanya hambatan
psikologis, sehingga dalam mengelola masalah guru lebih sensitive dan reaktif,
c.
Adanya tekanan kerja
guru: target yang harus dipenuhi oleh guru, seperti kurukulum, materi, prestasi
yang harus dicapai siswa, sementara kendala yang dihadapi cukup besar,
d.
Pola yang dianut
guru adalah mengedepankan factor kepatuhan dan ketaatan pada siswa, mengajar
satu arah (dari guru ke murid),
e.
Muatan kurikulum
yang menekankan pada kemampuan kognitif dan cenderung mengabaikan kemampuan
efektif, sehingga guru dalam mengajar suasananya kering, stressful, tidak
menarik, padahal mereka dituntut mencetak siswa-siswa berprestasi,
f.
Tekanan ekonomi,
pada gilirannya bisa menjelma menjadi bentuk kepribadian yang tidak
stabil,seperti berpikir pendek, emosional, mudah goyah, ketika merealisasikan
rencana-rencana yang sulit diwujudkan.
2.2
Psikologi Perkembangan [2]
Psikologi
berasal dari bahasa Yunani Psychology yang
merupakan gabungan dari kata psyche dan logos. Psyche berarti jiwa
dan logos berarti ilmu.
Secara harafiah psikologi diartikan sebagal ilmu
jiwa. Istilah psyche atau jiwa masih sulit didefinisikan karena
jiwa itu merupakan objek yang bersifat abstrak, sulit dilihat wujudnya,
meskipun tidak dapat dimungkiri keberadaannya. Dalam beberapa dasawarsa ini
istilah jiwa sudah jarang dipakai dan diganti dengan istilah psikis. Psikologi
adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia, secara tertutup atau terbuka
dan secara individu atau kelompok. Psikolgi adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari tingkah laku manusia baik sebagai individu maupun dalam hubungannya
dengan lingkungannya. Dari beberapa definisi tersebut diatas dapat disimpulkan
bahwa pengertian psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari
tingkah laku manusia, baik sebagai individu maupun dalam hubungannya dengan
lingkungannya. Tingkah laku tersebut berupa tingkah laku yang tampak
maupun tidak tampak, tingkah laku yang disadari maupun yang tidak disadari.
2.4 Peran
guru dalam kegiatan belajar mengajar (KBM)
Karena peran guru adalah mengembankan peran-peran
sebagai ukuran kognitif, sebagai agen moral, sebagai innovator, dan kooperatif.
Maka guru dapat di katakana sebagai contoh atau panutan bagi siswanya. Dan Tugas
guru umumnya adalah mewariskan pengetahuan dan berbagai keterampilan kepada
generasi muda .Hal-hal yang diwariskan itu sudah tentu harus sesuai dengan
ukuran-ukuran yang telah ditentukan oleh masyarakat dan merupakan gambaran
tentang keadaan social, ekonomi, dan politik masyarakat yang bersangkutan. Karena
itu guru harus memenuhi ukuran kemampuan yang yang diperlukan untuk
melaksanakan tugasnya, sehingga anak dapat mencapai ukuran pendidikan yang
tinggi. Hasil pengajaran merupakan hasil interaksi antar unsu-unsur, motifasi,
dan kemampuan siswa, isi atau materi pelajaran yang disampaikan dan dipelajari
oleh siswa, keterampilan guru menyampaikannya dan alat bantu pengajaran yang membuat
jalannya pewarisan itu.
Guru menyampaikan sikap kultur dan tindakan ploitik
kepada generasi muda. Kemauan-kemauan politik masyarakat bah dan disampaikan
dalam proses pengajaran dalam kelas .berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi maka maysarakat senatiasa berubah dan berkembang dalam semua aspek,
maka guru di sebut juga sebagai innovator. Dan Perubahan atau perkembangan itu dapat
menuntut terjadinya inofasi pendidikan yang menimbulkan perubahan yang baru dan
kualitatif atau berbeda dengan hal yang sebelumnya. Guru memiliki tanggung
jawab untuk melaksanakn inovasi itu diantaranya terletak pada penyelenggaraan
pendidikan disekolah, guru yang memegang perana utama serta guru bertanggung
jawab menyebarluaskan gagasan-gagasan baru, baik terhadap siswa maupun terhadap
masyarakat melalui proses pengajaran dalam kelas. Dalam proses pengajaran
disekolah atau dikelas peran guru lebih menonjol sifatnya dalam
hubungan proses belajar mengajar. Guru juga berperan sebagai perorganisasian
lingkungan belajar dan sebagai fasilitor belajar, maksudnya guru sebagai
perorganisasi lingkungan belajar peranan ini pada dasarnya bertitik tolak dari asumsi bahwa
pengajaran suatu aktifitas professional yang unik, rasional, dan humanistis.
2.5 Pengaruh kekerasan guru terhadap
perkembangan psikologi anak
Pengaruh nya ketika anak mendapatkan perlakuan kasar dari
gurunya maka, itu akan membuat si anak menjadi takut, pesimis, dan pemalu
sehingga membuat psikologi anak menjadi tidak begitu berkembang baik. Anak
Belajar Dari lingkungannya Jika anak
banyak dicela, ia akan terbiasa menyalahkan
Jika anak banyak dimusuhi, ia akan terbiasa menentang Jika anak dihantui
ketakutan, ia akan terbiasa cemas, dan Jika anak dikelilingi olok-olok, maka ia
akan terbiasa menjadi pemalu.
Dampak yang akan
muncul dari kekerasan akan melahirkan pesimisme dan apatisme dalam sebuah
generasi. Selain itu terjadi proses ketakutan dalam diri anak untuk menciptakan
ide-ide yang inovatif dan inventif. Kepincangan psikologis ini dapat dilihat
pada anak-anak sekolah saat ini yang cenderung pasif dan takut berbicara dimuka
kelas, bolos ketika guru galak mengajar. Sedangkan dalam keluarga, anak yang
sering diberi hukuman fisik akan mengalami gangguan psikologis dan akan
berperilaku lebih banyak diam dan selalu menyendiri selain itu terkadang
melakukan kekerasan yang sama terhadap teman main, kekerasan terhadap adik
kelas, terjadi senioritas dan kekerasan lain dalam dunia pendidikan.
Apa saja dampak
kekerasan pada siswa? Kekerasan yang terjadi pada siswa di sekolah dapat
mengakibatkan berbagai dampak fisik dan psikis, yaitu:
·
kekerasan secara fisik mengakibatkan organ-organ tubuh siswa
mengalami kerusakan seperti memar, luka-luka, dll.
·
trauma psikologis, rasa takut, rasa tidak aman, dendam,
menurunnya semangat belajar, daya konsentrasi, kreativitas, hilangnya
inisiatif, serta daya tahan (mental) siswa, menurunnya rasa percaya diri,
inferior, stress, depresi dsb. Dalam jangka panjang, dampak ini bisa terlihat
dari penurunan prestasi, perubahan perilaku yang menetap,
·
siswa yang mengalami tindakan kekerasan tanpa ada
penanggulangan, bisa saja menarik diri dari lingkungan pergaulan, karena takut,
merasa terancam dan merasa tidak bahagia berada diantara teman-temannya. Mereka
juga jadi pendiam, sulit berkomunikasi baik dengan guru maupun dengan sesama
teman. Bisa jadi mereka jadi sulit mempercayai orang lain, dan semakin menutup
diri dari pergaulan.
·
Hukuman fisik biasanya dijalankan oleh guru di bawah kondisi
tekanan emosional yang dipicu oleh perilaku murid. Akibat langsung pada
pendidik sesudah melaksanakan hukuman fisik yaitu naiknya tekanan darah,
disusul dengan turunnya ketegangan emosi. Ini sebenarnya timbul dari
kehendaknya sendiri, self reinforced. Si guru akan berkata
“Sekarang aku sudah merasa baik lagi”. Situasi ini menuntut kendali-diri
pendidik demi kepentingan jangka panjang peserta didik.
·
Murid yang mengalami hukuman fisik akan memakai kekerasan di
keluarganya nanti, sehingga siklus kekerasan makin kuat. Gershoff, yang
meneliti kasus ini selama 60 tahun sejak 1938, menemukan sejumlah perilaku
negatif akibat dari kekerasan, seperti perilaku bermasalah dalam agresi,
anti-sosial, dan gangguan kesehatan mental. Kekerasan tidak mengajar murid
untuk bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dan tidak
menghentikan perilaku keliru jika mereka ada di luar pantauan orangtua dan guru
(Ad hoc Corporal Punishment Committee (2003).
·
Murid itu, sebagai korban, kehilangan haknya atas pendidikan,
dan haknya untuk bebas dari segala bentuk kekerasan fiisik dan mental yang
tidak manusiawi. Martabat mereka direndahkan. Pertumbuhan dan perkembangan diri
mereka dihambat.
2.6 Landasan Psikologi Pendidikan[3]
A.
Pengertian
Landasan psikologi pendidikan adalah kajian tentang
aspek-aspek psikologi yang dapat menjadi dasar pemahaman bagi calon pendidik
untuk mengenali, dan menghayati dan mengaplikasikan konse-konsep perkembangan
psikologi dari peserta didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.
Salah satu aspek tujuan adalah mencerdasakan
kehidupan bangsa, artinya bukan hanya individu atau sekelompok siswa saja yang
dicerdasan, tetapi sluruh bangsa yaitu bangsa Indonesia. Dalam peraktek
pendidikan disekolah guru sering berhadapan dengan individu atau sekolompok
siswa di kelas , yang kondisi maupun potensinya berbda-beda. Perbedaan yang
paling mudah dilihat dari aspek psikologisnya adalah kemampuan intelektual,
afektifnya, dan psiko-motoriknya. Tugas mencerdaskan bangsa bukan berarti yang
dikembangkan hanya kemampuan intelektualnya saja, tetapi seluruh aspek
kepribadian manusia Indonesia yang meliputi kecerdasan intelektual (IQ =
Intelegent Quotion), kecerdasan social (IS = Social Intelegence), kecerdasan
spiritual (Spl = Spiritual Intelegence), kecerdasan emosi (EI = Emotional
Intelegence), dll.
Kemampuan intelektual adalah sebagai modal dasar
insani yang paling tinggi, sehingga manusia dibedakan dengan makhluk lain
karena akalnya yang luar biasa. A.H. Maslow dalam buku individual dan society,
mengkategorikan 5 tingkat kebutuhan manusia, yaitu sebagai berikut:
1.
Kebutuhan fisik, contoh: lapar, haus,
2.
Kebutuhan keamanan, contoh: keamanan,
aturan,
3.
Kebutuhan memiliki dan rasa cinta,
contoh: kasih sayang
4.
Kebutuhan penghargaan, contoh: prestasi,
keberhasilan.
5.
Kebutuhan aktualisasi diri, contoh:
kebutuhan untuk menyempurnkan diri.
Maka menurut Maslow, penuhi kebutuhan kita yang mendasar bila sudah
terpenuhi maka kebutuhan yang lebih tinggi yuga pasti akan terpenuhi.
B.
Situasi
Pergaulan Pendidikan
Proses pendidikan berlangsung antara pendidik dan
anak didik dalm bentuk pergaulan, baik secara individual meupun kolektif.
Pergaulan tidak harus beertatap muka tetapi bias dengan telepon, menyurat,
internet atupun dengan yang cara lainnya. Pergaulan juga tidak semua
mempunyaisifat pendidikan, contoh menyuruh anak merokok atau minuman keras.
Pergaulan pendidikan adalah hubungan antara dua pihak yang mempunyai maksud
yang disengaja untuk mempengaruhi anak didik, sehingga anak didik tersebut
berkembang menuju ke kedewasaan.
Dalam perkembangan menuju kedewasaan, seorang
individu baik secara alamiah maupun melalui proses pendidikan, akan selalu
melibatkan perkembangan seluruh aspek yang ada pada diri individu tersebut,
baik aspek fisik ataupun psikologinya. Perkembangan fisik maupun psikologi
seahrusnya dapat berkembang bersamaan, apabila tidak dapat menimbulkan rasa
rendah diri atau malu dan dapat mempengaruhi konsentrasi belajar padaanak
didik. Dengan demikian guru sebagai pendidk dapat memberikan bimbingan dalam
mengatasi permasalahan tersebut. Dalam proses pendidikan, kita akn banyak
menghadapi pemasalahan pendidikan yang tidak ekedar berkaitan dengan masalah
efisiensi dan efektivitas hasil belajar, tetapi pokok permasalahannya adalah
bagaimana kita dapat memahami tugas-tugas perkembangan anak yang secara
kontekstual dapat berpengaruh terhadap pencapaian tujuan pendidikan.
Proses kedewasaan itu adalah suatu proses yang
berlangsung terus menerus tanpa putus-putusnya. Oleh karena itu, pendidik harus
bersikap sabar untuk menunggu tercapainya hasil pendidikannya sehingga
perubahan pada anak didik yang kita harapkan cepat dewasa, tidak akn segera
dapat kita saksikan.
Anak didik dapat dipengaruhi, karena pada dasarnya
manusia adalah makhluk social, yang berarti manuasia itu memiliki kecenderungan
untuk mencari kontak social, contohnya ingin meniru orang lain, ingin
menyesuaikan diri dengan orang lain dll. Manusia tidak bias hidup terpisah
dengan orang lain atau kelompoknya, baik besar maupun kecil, maka dari itu
pengaruh yang diterima baik besar maupun kecil, tergantung daya tolak atau daya
tariknya hubungan tersebut.
Dari uraian tersebut, kita dapat mengerti mengapa
suatu lingkungan keluarga tertentu memancarkan suatu suasana tertentu. Suasana
di rumah atau dalam keluarga dapat menjandi pengaruh bagaimana cara anak-anak
dapat bergaul di luar rumah atau dalam lingkungan pergaulannya.
Pemahaman terhadap potensi anak didik, merupakan konsekuensi logis bahwa
pendidik harus memahami secara teoritis dan filosofis terhadap tugas-tugas
mendidik. Tugas mendidik membutuhkan banyak pendekatan, contohnya dengan
pendekatan ilmiah antara lain adalah pendekatn psikologis, karena dalam
mendidik memiliki tugas mengembangkan potensi yang dimiliki anak, dan memahami
prilaku dan motivasinya dalam rangka tujuan pendidikan. Pemahaman terhadap
potensi dan perkembangan psikologis anak didik, ditunjukan agar dalam
memberikan bantuan perkembangan terhadap anak didik dapat secara tepat, baik
kebutuhannya maupun pendekatannya.
C.
Beberapa
Dimensi Proses Pendidikan
Pendidikan pada dasarnya mempunyai dimensi tujuan
untuk memperbaiki prilaku (behavior modification, behavior improvement). Dalam
pengamatan sehari-hari kita dapat mengetahui bahwa hewan pun dapan diperbaiki
tingkah lakunya, contohnya anjing dilatih untuk mengendus jejak pencuri atau
obat-obatan terlarang. Namun demikian kita tidak bias menyimpulkan hewan bias
dididik dan butuh pendidikan.
Dilihat dari
aspek tujuan pendidikan, maka dimensi pres prndidikan dibedakan menjadi empat
dimensi, yaitu:
1.
Dimensi Individualitas
2.
Dimensi Sosialitas
3.
Dimensi Moralitas
4.
Dimensi Religiusitas
D.
Tugas-Tugas
Pokok Perkembangan
Proses pendewasaan manusia itu adalah pertemuan
antara pertumbuhan potensi dari dalam pada anak dan pengaruh dari lingkungan
yang sebagian diatur dengan sengaja yang dsebut pendidikan. Pendidikan terdiri
atas pelaksanaaan tugas-tugas perkembangan potensi pada anak ( developmental
tasks).
Tugas perkembangaan menurut Robert havighurst ialah
tugas yang terdapat pada suatu tahap kehidupan seseorang yang akan membawa
individu kepada kebahagiaan dan keberhasilan dalaam tugas-tugas pengembangan
berikutnya. Sedangkan kegagalan daam melaksanakan tugas pengembangaan, akan
mengakibatkan kehidupan tidak bahagia
pada individu dan kesukaran-kesukaran lain dalam hidupnya kelak.
Tahap – tahap pengembangan menurut Erickson:
1.
The sense of trust ( kemampuan
mempercayai)
2.
The sense of authonomy (kemampuan
berdiri sendiri)
3.
The sense of initiative ( kemampuan
berprakarsa)
4.
The sense of accomplishment (kemampuan
menyelesaikan tugas)
5.
The sense of identity (kemampuan meyakin
identitasnya)
6.
Tahap kedewasaan
E.
Pemahaman
terhadapan Perkembangan pribadi Anak
Pemahaman terhadap perkembangan pribadi anak, tidak
hanyanobservasi dan eksperimen, tetapi jhuga dapat dilakukan dengan intropeksi
dan empati yaitu kemampuan dapat
menempatkan diri dalam pribadi anak, sehingga dunia kejiwaan anak bukan saja dapat dipahami, melainkan dapat diarfi (
verstehen ) pemahaman dunia anak bukan
hanya sebagaio mahluk biologis, melainkan sehingga mahluk psikis dan
spiritual.
Sebagai mahluk biologis, anak dapat dikenalikan dari
segi kehidupan instinktifnya (misalnya : insting mempertahankan diri, insting
sex, berkelahian, lari berasosiasi dengan orang lain, dsb). Sedangkan dari
aspek psikisnya, anak dapat dikenali dari dimesi kejiawaannya. Seperti
motivasinya, emosinya, kognisinya, serta kehidupan psikomotoriknya. Pemahaman
terhadap dunia anak adalah dalam rangka upaya mengembangkan potensi anak agar
memahami kemampuan dirinya, serta mencapai kedewasaan.
Secara umum perkembangan kehidupan anak dapat dibagi
ke dalam periodisasi sebagai berikut :
1.
Anak bayi ( 0-1 tahun )
2.
Kanak – kanak ( 1-5 tahun )
3.
Anak sekolah ( 6-12 tahun )
4.
Remaja atau adolesensi ( 12-18 tahun )
Pada setiap periode perkembangan memnpunyai khasan
sendiri, karena ada dimensi – dimensi tertentu yang menonjol, sehingga kita
dapat memahami terhadap karakteristik profil perilaku anak pada tiap – tiap
periodenya. Marilah kita ikuti urainnya sebagai berikut :
1.
Anak bayi ( 0-1 tahun ), di sebut juga dengan periode vital (
vita = hidupo ). Periode ini mempunyai makna mempertahankan hidup, yaitu anak
di lengkapi dengan bebrapa kampuan, terutama dengan insting atau naluri.
Insting ialah kemampuan yang telah ada sejak lahir yang sifatnmya psiko –
fisikis ( mempunyai segi psikis dan fisik ) untuk dapat bereaksi terhadap
lingkungan ( memalui rangsangan atau simulasi tertentu dengan cara yang
khas. Prilaku interaksi itu tanpa
belajar terlebih dahulu. Dan meliputi segi – segi kognitif, efektif, konatif
yang melibatkan system psikomotorik. Pada anak bayi telah Nampak insting
social, sebagai alat untuk memungkinkan anak berkomunikasi dengan lingkungannya
( lingkungan social ) hal ini dapat kita amati ketika bayi mereaksi dengan senyum
ketika ibunya mengajak bicara. Pada anak juga ada insting meniru, yaitu anak
suka meniru perbuatan ibunya misalnya menirukan kata – kata “ mama “ atau “
papa” ini terjadi pada anak awal mulai belajar bicara. Tanpa adannya insting
meniru anak tidak dapat belajar bahasa. Pada anak juga ada insting reflekls.
Reflex ialah salah satu reaksi otomatis dari bagian – bagian badan tertentu
bila kena rangsangan, seperti biji mata ( pupil reflex ) bila ada perubahan
cahaya yang terlalu kuat.
Pada anak dilengkapi pola dengan potensi perluasan
dunia, yaitu dengan penjelajahan ruang. Pada masa ini anak mulai berjalan, ia
mulai mengenal berbagai tempat / ruang dan lingkungan.
2.
Periode kanak – kanak ( umur 3-5 tahun )
yaitu usia pra sekolah sebagai periode peralihan dari masa bayi ke usia anak
sekolah. Sebelum anak masuk sekolah jiwanya telah matang karena dieprsiapkan di
taman kanak – kanak atau TPA khostman menyebut periode ini dengan periode
setetis yang berarti keindahan. Periode ini mempunyai tiga cirri yaitu : perkembangan
emosi kegembiraan hidup, kebebasan, fantasi. Ketiga ciri ini tersebut dapat
dikembang dengan berbagai bentuk ekspresi seperti : permainan, dongeng,
nyanyian, dan menggambar. Dalam masa hidup kanan – kanan terjalin masa bahagia
dan gembira anak – anak dapat dapat menikmati kebahagian hidupnya sebagai
unsure yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Perkembangan pada daya
pengindtraan anak juga berkembang pada periode ini yaitu penglihatan termasuk
membedakan warna, pendengaran yang didalamnya termasuk nyanyian, meraba benda
halus atau kasar, mencium bau harum dan menyengat, mencicipi rasa lezat, asin,
pahit dan manis.
3.
Anak sekolah ( 6-12 tahun ) periode I I
di sebut periode intelektual karena
sebagian waktu digunakan untuk pengembangan kemampuan intelektualnya. Perhatian
anak sebagian besar ditunjukan pada dunia ilmu pengetahuan tentang sekitarnya.
Anak pada usia ini mudah untuk diberi tugas untuk dilaksanakan dan mereka bila
lingkungannya penuh pengertian, akan mudah belajar pada waktu dan tempatnya.
Apabila pada usia ini akan terjadi kesalahan pendidikan akan timbul berbagai
masalah prilaku seperti mengompol, berbohong, suka berkelahi, nakal, suka
mengganggu dll. Untuk memperbaiki itu perlu di teliti latar belakang kehidupan
anak itu. Dan penyebabnya adalah kurang perhatian dari ibunya.
4.
Masa remaja , pubertas, adolensasi (
12-18 tahun )
Masa
periode ini di sebut periode social, karena dalam masa ini anak mempunyai minat
terhadap hal – hal kemasyarakatan dan hal sengan dalam ikatan organisasi. Pada masa
ini abnak remaja sangat menonjol pada nafsu birahinya dan anak mengalami masa
pertumbuhan yang cepat sehingga kadang – kadang merasa canggung karena
perbedaan pertumbuhan. Dalam perkembangan moralnya anak mulai mengenali nilai –
nilai rohani seperti nilai kebenaran, keindahan, keadilan, kebaikan serta
ketuhanan. Anak mencari identisa dirinya, ingin tahu bagaimana orang lain
menilai dirinya, memperhatikan soal – soal kemasyarakatan dan politik serta
kebidayaan.
F.
Jenis
– jenis Upaya Pendidikan
Upaya pendidikan adalah suatu cara usaha pendidkan
untuk membimbing anak mencapai kedewasaannya. Cara usaha itu dapat berbentuk
pendidikan atau situasi yang dengan sengaja diadakan untuk mendidk anak. Upaya
pendidikan berbeda artinya dengan factor pendidikan. Pada factor pendidkan
adalah suatu pengaruh yang tidak dengan sengaja diadakan oleh pendidik, tetapi
walaupun demikian dapat mempunyai pengaruh terhadap anak yang sama dengan upaya
sengaja diadakan oleh pendidik. Misalnya seseorang ayah mengajak anaknya menonton
film yang baik yang dapat mempengaruhi
cara berfikir dan kata hati anak. Dalam hal ini usaha mengajak anak adalah
upaya pendidikan. Tetapi dapat pula seorang ayah mengajak anaknya menontonj
film untuk rekreasi dan sebagai imbalan hasil kerja kerasnya. Perbuatan
pendidikm yang di sengaja ditonjolkan kepada anak, biasanya tidak memberikan
efek yang diharapkan, karena anak akan merasa tersinggung dalam kemandiriannya,
sebenarnya yang mendidik anak itu bukan nasehat atau teladan melainkan suasana
iklim atau psikologis yang kita ciptakan oleh keberadaan kita. Pendidikan yang
berwibawa adalah bila ia telah merealisasikan atau sendiri nilai yang di
sampaikan terdidik. Setiap upaya pendidikan dilaksanakan berhubungan dengan
empat hal, yaitu :
1.
Untuk mencapai suatu tujuan pendidikan,
dapat dilakukan denagan membatasi tujuan – tujuan pendidikan yang terbagi menjadi bebrapa jenis tujuan
yaitu tujuan umum, khusus, incidental, sementara, dan tujuan tidak lengkap.
2.
Di hubungkan dengan siapa yang
mempergunakan upaya itu, walaupun itu jelas tujuannya, belum tentu seseorang
dapat memakainy secara efektif.
3.
Dihubungkan dengan cara atau bentuk
upaya yang dipergunakan, seperti larangan, perintahdsb, dapat member
konstribusi terhadap efektifitas pencapaian tujuan.
4.
Bagaimana efeknya terhadap anak dalam
menerapkan upaya pendidikan harus memperhatikan sifat khusus dari kondisi dan
situasi khusus anak pada suatu saat secara kongkrit.
Berdasarkan uraian tersebut, mempunyai implikasi
bahwa upaya atau plaksanaan proses pendidikan, sebenarnya adalah suatu
perbuatan wibawa, dimana nilai atau maksud yang diinginkan harus sesuai dengan
kenyataan. Pendidikan pada hakekatnya tidak dilaksanakan dalam kepura – puraan
pendidikan harus jujur, murni, dan otentik. Pada umumnya anak akan melihat gerak
gerik pendidik walaupun sering secara tidak sadar. Oleh karena itu, pada anak
sering terjadi perbuatan yang salah yang memang perbuatan pendidik bukan secara
sengaja untuk ditiru atau belum dapat ditiru oleh anak.Pendidik juga dituntut
untuk berbuat sesuai dengan azas keputusan, artinya setiap perbuatan mendidik
akan mengandung konsekuensi logis baik dari sudut logika partikal, etika,dan
estetika. Oleh karena itu guru selalu di pandang sebagai orang yang patut
ditiru.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Metedologi
penelitian menurut Jujun Suriasumantri (1978) yaitu :
Metode
penelitian merupakan cara ilmiah yang digunakan untuk mendapatkan data dengan
tujuan tertentu. Cara ilmiah berarti kegiatan itu di landasi oleh metode
keilmuan. “Metode keilmuan ini merupakan gabungan antara pendekatan rasional
dan empiris memberikan kerangka pengujian dalam memastikan suatu kebenaran”.
Dengan
cara yang ilmiah itu, diharapkan data yang akan di dapatkan adalah data yang
objektif, valid, dan reliabel. Objektif berarti semua orang akan memberikan
penafsiran yang sama; valid berarti adanya ketepatan antara data yang terkumpul
oleh penelitian dengan data yang terjadi pada objek yang sesungguhnya; dan
reliabel berarti adanya ketepatan/konsisten data yang di dapat dari waktu ke
waktu.
Sedangkan
metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kuantitatif. Menurut Jujun Suriasumantri (1978)
“Penelitian
kuantitatif di dasarkan pada pradigma positifisme yang bersifat
logico-hypotheco-verifikatif dengan berlandaskan pada asumsi mengenai objek
empiris. Asumsi pertama bahwa objek/fenomena dapat diklasifikasikan menurut
sifat, jenis, struktur, bentuk, warna dan sebagainya. Asumsi yang kedua adalah
determinisme (hubungan sebab akibat).
1.
Subjek Penelitian
Subjek penelitian yang menjadi
focus dalam penelitian ini yaitu Lembaga Pendidikan. Karena kami menganggapa
bahwa orang-orang yang berada di lembaga pendidikan mempunyai pengetahuan lebih
tentang rumusan masalah yang kami teliti. Tentang pengambilan sampel, penulis
menggunakan teknik purposive sampling atau judgemental samping. Penarikan
sampel secara purposive merupakan cara penarikan sampel yang dilakukan memilih
subjek berdasarkan kriteria spesifik yang ditetapkan peneliti. Kami memilih
kepada Kepala Sekolah dan beberapa siswa SDN Sunda Wenang Kabupaten Sukabumi., karena telah memnuhi kriteria
penelitian kami, yaitu yang lebih tahu tentang seluk beluk pendidikan formal.
2.
Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik yang digunakan
dalam mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah sebagi berikut :
1.
Penelitian kepustakaan (library Research)
Dalam metode pengumpulan data
melalui library research ini maka penulis melakuikannya dari berbagai sumber
bacaan yang berhubungan dengan judul pembahasan, baik itu dari
literature-literatur ilmiah, internet serta peraturan perundang-undangan.
Penelitian kepustakaan ini telah peneliti lakukan 10 januari 2013 s/d 30
januari 2013.
2.
Wawancara
Wawncara adalah teknik
pengumpulan dengan menggunakan dialog, Tanya jawab antara peneliti dan
responden secara sungguh-sungguh. Wawancara yang digunakan yaitu wawancara
terpimpin, yaitu Tanya jawab yang dilakukan dengan responden yang menggunakan
panduan wawancara (anket yang dibacakan) yang berupa kumpulan pertanyaan yang
akan ditanyakan kepada responden.
Wawancara telah peneliti
lakukan pada tanggal 28 Februari 2013,pukul 15.00WIB yang bertempat di kediaman
beliau yang beralamat dijalan kepada Kepala Sekolah dan beberapa
siswa SDN Sunda Wenang Kabupaten Sukabumi.
3.
Pembuatan Kuesioner
Pada penelitian survey,
penggunaan kuesioner merupakan hal yang pokok untuk pengumpulan data. Hasil
kuisioner tersebut trejelma dalam angka-angka,table-tabel,analisa statistic dan
uraian serta kesimpulan hasil penelitian. Analisa data kuantitatif dilandaskan pada
hasil kuisioner tersebut.
Tujuan pokok pembuatan
kuisioner adalah untuk (a) memperoleh informasi yang relavan dengan tujuan
survey, dan (b) memperoleh informasi dengan reliabilitas dan validitas setinggi
mungkin. Mengingat terbatasnya masalah yang dapat ditanyakan dalam kuisioner,
maka senantiasa perlu diingat agar pertanyaan-pertanyaan harus berkaitan dengan
hipotesa dan tujuan penelitian tersebut.
Pertanyaan dimaksudkan untuk
dipakai dalam analisa. Sebelum atau ketika membuat kuesioner, ada baiknya
dipelajari kuisioner yang ada, dan relavan dengan topic penelitian yang akan
dilakukan. Perlu juga ditambahkan, bahwa data yang terhimpun melalui kuesioner
hanyalah merupakan satu dimensi dari penelitian social. Kemudian, hasil
kuisioner juga senatiasa terbatas, mengingat kompleksnya fenomena social dan
proses social, diperlukan pula berbagai informasi lainnya. Disamping data
sekunder yang relevan, informasi yang diperoleh dengan cara lain, yaitu
wawancara bebas, observasi berpartisipasi, studi kasus, dan lain-lain, akan
sangat membantu.
Ø Isi Pertanyaan
1). Pertanyaan tentang fakta. Umpanya umur dan jenis kelamin.
2). Pertanyaan tentang pendapat dan sikap. Ini menyangkut perasaan
dan sifat responden tentang sesuatu.
3). Pertanyaan tentang informasi. Pertanyaan ini menyangkut apa
yang diketahui oleh responden dan sejauh mana hal tersebut diketahuinya.
Ø Beberapa Cara Pemakaian
Kuesioner
1). Kuesioner digunakan dalam wawancara tatap muka dengan
responden. Cara ini yang lazim kita lakukan.
2). Kuesioner di isi sendiri oleh kelompok. Umpamanya, seluruh
murid dalam satu kelas dijadikan responden dan mereka mengisi kuesioner secara
serentak.
3). Wawancara melalui telepon. Cara ini sering dilakukan di
amerika serikat dan di Negara-negara maju lainnya. Prosedur ini lebih mudah
daripada wawancara tatap muka dan adakalanya orang tidak tersedia didatangi
tapi bersedia di wawancarai melalui telepon.
4). Kuesioner di poskan, dilampiri amplo yang dibubuhi prangko,
untuk dikembalikan oleh responden setelah di isi. Cara ini dapat dilakukan
untuk kuesioner yang pendek dan mudah dijawab, tetapi mungkin cukup besar
proposisi yang tidak dikembalikan oleh responden.
Ø Jenis pertanyaan
1. Pertanyaan tertutup.
Kemungkinan jawabannya sudah ditentukan terlebih dahulu dan responden tidak di
beri kesempatan memberikan jawaban yang lain.
2. Pertanyaan terbuka. Kemungkinan jawabannya tidak ditentukan
terlebih dahulu dan responden bebas memberikan jawaban.
3. Kombinasi tertutup dan terbuka. Jawabannya sudah ditentukan,
tetapi kemudian disusul dengan pertanyaan terbuka.
4. Pertanyaan semi terbuka. Pada pertanyaan semi terbuka,
jawabannya sudah tersusun tetapi masih ada kemungkinan tambahan jawaban.
Ø Susunan Pertanyaan
Pertanyaan dikelompokan sesuai dengan tujuan penelitian, dimulai dengan
identitas yang berisi:
1. Nama Responden
2. Tempat Tinggal
3. Nama Pewawancara
4. Tanggal Wawancara
Ini disusul dengan identitas yaitu : umur dan alamat.
Namun demikian, ada juga penelitian yang tidak memakai system cara
pemilihan demikian dan tidak memerlukan kuesioner.
Ø Bentuk Fisik Kuesioner
Kuesioner sebaiknya rapi, jelas dan mudah digunakan. Menyusun
kuesioner yang baik memerlukan lebih banyak waktu tetapi secara keseluruhan
akan menghemat waktu.
Ø Pretest
Pretest diadakan untuk menyempurnakan kuesioner. Melalui pretesd
akan diketahui berbagai hal, misalnya :
-
Apakah tiap pertanyaan dapat dimengerti dengan baik oleh
responden, dan apakah pewawancara dapat menyampaikan pertanyaan tersebut dengan
mudah.
-
Beberapa lama pawawancara memakan waktu.
Ø Pedoman Pengisian kuesioner dan
Penggunaan Bahasa
Pedoman pengisian kuesioner merupakan pegangan bagi pewawancara.
Dalam pedoman pengisian kuesioner, tiap pertanyaan diajukan diberi keterangan
yang jelas dan terinci. Kuesioner Indonesia hampir seluruhnya menggunakan
bahasa Indonesia. Hal ini perlu ditinjau karena kebanyakan responden terutama
di pedesaan, tidak dapat diharapkan menerjemahkan pertanyaan-pertanyaan yang
diajukannya.
Ø Peranan Wawancara
Sejalan dengan pentingnya wawancara dalam pelaksanaan survey, peranan
pewawancara pun sangatlah menentuan. Meskipun daftar pertanyaan telah dibuat
dengan sebaik mungkin oleh peneliti, namun kunci keberhasilan dari suatu proses
wawancara tetap terletak pada para pewawancara. Keberhasilan pengumpulan data
sangat tergantung pada pewawancara, mengingat hal-hal berikut :
1. Dapatkah pewawancara
menciptakan hubungan dengan baik dengan responden sehingga wawancara dapat
berjalan dengan lancar?
2. Dapatkah pewawancara
menyampaikan semua pertanyaan pada responden dengan baik dan benar?
3. Dapatkah pewawancara
mencatat semua jawaban lisan dari responden dengan teliti dan jelas?
4. Apabila jawaban
responden tidak jelas dapatkah pewawancara menggali tambahan informasi dengan
menyampaikan pertanyaan yang tepat dan netral?
Sikap yang simpatik atau kesan yang baik yang diberikan oleh
pewawancara sangat penting untuk mencapai hasil yang baik dalam pengumpulan
data, kesan yang positif tersebut lebih penting daripada keterangan tujuan
ilmiah dari penelitian yang biasa diajukan pada permulaan wawancara.
Ø Persiapan Wawancara
Ø Penelitian Persiapan Wawancara
Sebelum peneliti melaksanakan tugas lapangan, bebrapa hal harus
sudah dipersiapkan terlebih dahulu denngan matang. Kemudian kuesioner juga
sudah disusun dengan baik dan sudah ditentukan bahasa apa yang akan digunakan
untuk dilakukan survey.
Ø Pewawancara dan Persiapan
Wawancara
Latihan wawancara dan penjelasan tentang masalah lapangan merupkan
bagian yang penting dalam survey wawancara. Latihan wawancara diadakan untuk
memberikan bekal keterampilan kepada wawancara untuk mengumpulkan data dengan
hasil baik.
Ø Beberapa Pedoman
Sebelum mewawancara dimulai, pewawancara harus mampu menciptakan
hubungan baik dengan responden, atau mengadakan report. Report adalah suatu
situasi psikologi yang menunjukan bahwa responden bersedia bekerjasama,
bersedia menjawab pertanyaan dan memberi informasi sesuai dengan fikirannya dan
keadaan yang sebenarnya.
3.
Teknik Analisis Data
a. Reduksi Data
Pada tahap ini dilakukan
pemilihan tentang relevan tidaknya antara data dengan tujuan penelitian.
Informasi dari studi kepustakaan maupun lapangan sebagai bahan mentah diringkas,
disusun lebih sistematis, serta lebih ditonjolkan pokok-pokok yangpenting
sehingga lebih mudah.
b.
Display Data
Pada tahap ini peneliti
berupaya mengklasifikasikan dan menyajikan data sesuai dengan pokok
permasalahan.
c.
Pengambilan Data
Kegiatan ini dimaksudkan untuk
mencari makana data yang dikumpulkan dengan mencari hubungan, persamaan dan
perbedaan.
4.
Populasi
Pengertian populasi adalah
adalah jumlah keseluruhan dari satuan-satuan atau individu-individu yang
karakteristiknya hendak diteliti. Dan satuan-satuan tersebut dinamakan unit
analisis, dan dapat berupa orang-orang, institusi-institusi, benda-benda, dst.
(Djawranto, 1994 : 420).
Jumlah populasi yang kita
teliti dari satu kelas terdiri dari 38 siswa dan kepala sekolah. Kemudian kia
mengambil 5 sample dari 38 siswa tersebut dengan menggunakan teknik pengisian
data berupa angket bebrapa pertanyaan.
5.
Sampel dan Kriteria Sampel
Pengertian sampel adalah sebagian dari populasi yang
karakteristiknya hendak diteliti (Djarwanto, 1994:43). Sampel yang baik, yang
kesimpulannya dapat dikenakan pada populasi, adalah sampel yang bersifat
representatif atau yang dapat menggambarkan karakteristik populasi.
Kriteria inklusi adalahkriteria / standart yang di tetapkan
sebelum penelitian / penelaahaan di lakukan. Kriteria inklusi di gunakan untuk
menetukan apakah seseorang dapat beropartisipasi dalam studi penelitian atau
apakah penelitian individu dapat dimasukan dalam penelaahan sistematis.
Kriteria inklusi meliputi jenis klamin dan usia kriteria inklusi membantu
mengidentifikasikan pesrta yang sesuai, karakteristik umum subjek penelitian
dari suatu populasi target yang terjangkau yang akan diteliti (Nursalam, 2003:
96).
BAB
IV
PEMBAHASAN
4.1 Hubungan Pendidikan Dengan Kekerasan[4]
Sesuai dengan pengertian yang telah dibahas dibab
sebelumnya bahwa didalam Undang-Undang Sitem Pendidikan Nasional No.20 Tahun
2003, disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan berencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Pendidikan dan pengajaran memang tidak identik dengan
kekerasan, baik di masa yang lalu apalagi sekarang ini. Tapi kekerasan
sering kali dihubung-hubungkan dengan kedisiplinan dan penerapannya dalam dunia
pendidikan. Istilah “tegas” dalam membina sikap disiplin pada anak didik,
sudah lazim digantikan dengan kata “keras”. Hal ini kemudian ditunjang
dengan penggunaan kekerasan dalam membina sikap disiplin di dunia militer,
khususnya pendidikan kemiliteran. Ketika kemudian cara-cara pendidikan
kemiliteran itu diadopsi oleh dunia pendidikan sipil, maka cara “keras” ini
istilah sekarang adalah kekerasan juga ikut diambil alih di lingkungan sekolah.
Dengan demikian seharusnya dengan pendidikan siswa dapat
mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Siswa mendapatkan pendidikan
tersebut dari pendidik ada guru yang kompeten dalam bidangnyamasing-masing,
siswa berhak mendapatkan kenyamanan dalam mendapatkan pembelajaran yang
disampaikan oleh guru, namun sekarang ini tidak sedikit guru yang menggunakan
kekerasan dalam menyampaikan pembelajaran kepada siswanya dengan alasan
kekerasan tersebut dilakukan pada siswa dengan dalih untuk memberikan ketegasan
pada saat belajar. Padahal seharusnya siswa tidak boleh mendapatkan perlakuan
seperti itu dari seorang guru yang seharusnya dapat menjadi contoh bagi
siswa-siswanya, bukan malah akan berdampak negatif karena kekerasan yang
dilakukan oleh guru tersebut.
Issue
kekerasan terhadap anak semakin hari semakin menjadi perbincangan
publik seiring dengan semakin ruetnya ekonomi Indonesia. Namun
demikian, kekerasan spesifik yang dilakukan oleh guru atau keluarga pada
anak atas nama pendisiplinan atau disebut corporal punishment
tidak banyak diperbincangkan. Pertama, karena belum
ada paradigma bahwa sebenarnya kekerasan pendidikan itu tidak saja
memiliki dampak negative bagi tumbuh kembang anak, tetapi juga merupakan
pelanggaran hak asazi anak. Kedua, kekerasan yang dilakukan oleh guru
atau keluarga sering kali terbungkus oleh persepsi masyarakat yang meletakkan
masalah ini sebagai persoalan domestik karena itu tidak layak atau tabu untuk
diekspos secara terbuka. Ketiga, masyarakat Indonesia merupakan
masyarakat “keep silent” yaitu tidak terbiasa menyuarakan suara hatinya
walau sebenarnya kekerasan dalam pendidikan yang dialami merugikan dirinya.Dalam
tulisan ini akan dibahas bentuk-bentuk, faktor-faktor,
akibat dan bagaimana solusi alternative dari corporal punishment
yang dilakukan atas nama pendidikan.
1.
Terminologi
Kekerasan
Pada awalnya terminologi tindak kekerasan atau
child abuse dan neglect berasal dari dunia kedokteran. Sekitar
tahun 1946, Caffey (seorang radiologist) melaporkan kasus berupa gejala-gejala
klinik seperti patah tulang panjang yang majemuk (multiple fractures)
pada anak-anak atau bayi disertai pendarahan tanpa diketahui sebabnya (unrecognized
trauma). Dalam dunia kedokteran, kasus ini dikenal dengan istilah Caffey
Syndrome (Ranuh, 1999). Kasus yang
ditemukan Caffey diatas semakin menarik perhatian publik ketika Henry Kempe
tahun 1962 menulis masalah ini di Journal of the American Medical
Assosiation, dan melaporkan bahwa dari 71 Rumah Sakit yang ia teliti,
ternyata terjadi 302 kasus tindak kekerasan terhadap anak-anak, dimana 33 anak
dilaporkan meninggal akibat penganiayaan yang dialaminya, dan 85 mengalami kerusakan
otak yang permanen. Henry Kempe menyebut kasus penelentaran dan penganiayaan
yang dialami anak-anak dengan istilah Battered Child Syndrome yaitu:
“Setiap keadaan yang disebabkan kurangnya perawatan dan perlindungan terhadap
anak oleh orangtua atau pengasuh lain.”
Selain Battered Child Syndrome, istilah lain untuk menggambarkan kasus
penganiayaan yang dialami anak-anak adalah Maltreatment Syndrome, yang
meliputi gangguan fisik seperti diatas, juga gangguan emosi anak dan adanya
akibat asuhan yang tidak memadai, ekploitasi seksual dan ekonomi, pemberian
makanan yang tidak layak bagi anak atau makanan kurang gizi, pengabaian
pendidikan dan kesehatan dan kekerasan yang berkaitan dengan medis (Gelles,
1985).
Apabila kekerasan tersebut dilakukan dalam dunia
pendidikan maka disebut corporal punishment, yaitu adalah tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh orang tertentu pada orang lain atas nama
pendisiplinan anak dengan menggunakan hukuman fisik, meskipun sebenarnya
hukuman/kekerasan fisik tersebut tidak diperlukan (is disciplinary action
involving the infliction of psysical pain upon one person by another, although
physical contact is not necessary(W.W. Charters, 197). Yang perlu digaris
bawahi bahwa unsur terpenting dari corporal punishment
adalah pelakunya adalah seseorang atau sejumlah orang terdekat seperti
guru, orangtua, ustadz dan lain-lainnya yang seharusnya memiliki kewenangan,
kewajiban dan kesempatan untuk melindungi anak.
2.
Bentuk-Bentuk
Kekerasan Pendidikan
Di lihat dari bentuknya, kekerasan
pendidikan ini ada dua. Pertama, adalah kekerasan fisik seperti
penghukuman, pemukulan, penganiayaan, dan lain-lainnya. Kedua, adalah
kekerasan non-fisik atau psikis seperti memarahi anak karena prestasinya
menurun, memaksa anak sekolah sebelum usianya, memaksa anak mengikuti kehendak
orangtua (dalam memilih sekolah, pekerjaan), penghinaan, intimidasi/terror dan
lain-lainnya. Akibat perilaku tersebut anak akan mengalami trauma dan
mengganggu kreatifitas diri anak untuk berkembang sesuai dengan bakatnya,
sehingga self development anak menjadi terhambat.
Sekolah,
sebagai sebuah institusi pendidikan, idealnya menjadi tempat ramah bagi anak
didik, dalam arti dapat memberi jaminan untuk melangsungkan proses pembelajaran.
Tempat ramah dan kondusif berarti harus dapat memberikan kesenangan,
keleluasaan atau kebebasan kepada anak untuk melakukan pengembangan diri secara
optimal, karena hal ini akan melahirkan rasa suka dan anak termotivasi untuk
berkreasi sesuai dengan bakat dan minatnya, sehingga bisa membangun kesadaran
kritis sebagai jalan menuju terciptanya kemandirian anak. Selain itu, sekolah
yang ramah juga harus diartikan sebagai suatu kondisi institusi pendidikan yang
jauh dari berbagai tindakan kekerasan terhadap anak, baik fisik maupun non
fisik. Kita sering mendengar perlakuan guru yang menampar atau menyiksa siswa
karena emosi atau apapun alasannya. Sebagai contoh di Surabaya, seorang siswa
terpaksa meninggal dunia karena disetrap oleh gurunya dan dihukum dengan cara
lari mengelilingi lapangan sebanyak 20 kali. Siswa yang dihukum lari itu
terjatuh karena dipukul dengan tongkat oleh gurunya gara-gara kecapekan dan
tidak lagi kuat lari, kepalanya membentur batu hingga kemudian tewas (Memorandum,
3/9/1997). Kasus lain di daerah Kecamatan Karang Pilang, Surabaya pertengahan
Juli 1999, diberitakan ada seorang guru yang jahil memasukkan tangannya ke alat
vital muridnya sendiri dan melakukan tindakan tak senonoh lainnya yang
menyebabkan anak menjadi trauma (Memorandum, 15 Juli 1999). Di Ponorogo,
Kecamatan Siman, seorang guru ngaji sempat menjadi sasaran kemarahan warga
karena memaksa seorang gadis ingusan yang masih berusia 5 tahun melakukan oral
seks ketika bermain-main di sebuah sungai kecil (Memorandum 9 Agutus
1997).
Kasus diatas adalah contoh kecil
dari kekerasan fisik yang terjadi dalam dunia pendidikan kita dan masih banyak
kasus serupa terjadi, namun tidak terekspos oleh media massa. Kekerasan selama
ini hanya difahami jika dilakukan secara fisik padahal kekerasan non fisik juga
sangat menyakitkan anak. Salah satu contohnya adalah sekolah membuat
aturan dan kebijakan yang dapat mengekang kebebasan berpikir anak, melakukan
diskriminasi, pemaksaan pendapat, pemberian nilai tidak obyektif, menggunakan kata-kata
kasar, misalnya ”dasar goblok kamu” dan masih banyak kasus-kasus lain yang
terkategori sebagai kekerasan non fisik yang dialami oleh anak-anak didik kita
di sekolah.
3.
Faktor
Kekerasan Pendidikan
Dalam pendidikan formal
ditemukan sejumlah faktor yang menyebabkan lahirnya tindakan kekerasan pada
anak didik. Pertama, kurikulum pendidikan yang tidak menggunakan prinsip
hak adaptability anak. Adalah kurikulum yang padat, sarat beban
kepentingan sehingga menyebabkan anak terpaksa harus belajar berbagai hal
yang belum tentu relevan dengan cita-cita anak. Kedua, gurunya
tidak layak sebagai guru baik dilihat segi penguasaan substansi maupun
dari segi intructional process, serta mental guru yang
buruk. Ketiga, pengabaian terhadap hak anak untuk didengar pendapatnya.
Hal ini ditandai dengan sistem managemen sekolah yang masih
sentralistis, dan tidak demokratis dalam melahirkan kebijakan sekolah. Anak
didik tidak dilibatkan dalam pembuatan keputusan di sekolah, akibatnya
kepentingan terbaik anak cenderung diabaikan. Pada hal baik dalam legislasi
nasional maupun instrumen intenasional pengabaian pendapat anak merupakan
pelanggaran hak asasi (pasal 6 UU 23/2002 dan pasal 12 CRC). Termasuk
pengabaian pada hak anak adalah apabila peneriman siswa baru tidak didasarkan
pada kemampuan dan bakat, tetapi didasarkan pada ambisi orangtua sehingga
terjadi KKN antara orangtua dan kepala sekolah. Keempat, dalam dunia
pendidikan walau telah terjadi pergeseran teori, yaitu dari cognitivisme,
behavioristisme kepada humanisme, namun tidak semua guru
menerapkan teori tersebut sehingga praktek corporal atas nama pendidikan
masih terus berlangsung hingga sekarang.
Dalam pendidikan non-formal,
keluarga merupakan komponen masyarakat terkecil dimana orangtua adalah
lingkungan yang pertama dan utama bagi pembentukan kepribadian dan tingkah laku
anak. Keluarga yang secara normatif dikatakan sebagai tempat paling aman
bagi anak-anak, ternyata hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Kekerasan
pendidikan dalam keluarga banyak berkaitan dengan faktor budaya. Adalah
praktek-praktek budaya yang merugikan anak baik secara fisik maupun emosional.
Misalnya dalam praktek pengasuhan anak. Dalam pengasuhan anak, orangtua
menekankan si anak untuk patuh kepadanya. Dalam rangka menegakkan nilai kepatuhan
ini, masyarakat sering membiarkan dan mentorelir hukuman fisik (cambuk,
pecut, tending atau tempeleng) maupun kekerasan dalam bentuk
pengisolasian sosial. Ketika terjadi kekerasan dalam keluarga, yang
paling sering menjadi sasaran kemarahan orangtua adalah anak-anak. Jika sang
ayah marah tidak jarang anak ditendang dan ditempeleng. Meskipun demikian tidak
ada reaksi yang berarti dari orang lain (tetangga) terhadap perlakuan kasar
tersebut. Para tetangga menilai kekerasan terhadap anak yang dilakukan kekeluarganya
sendiri adalah urusan intern mereka sendiri. Itu mereka lakukan dalam rangka
“mendidik” anak-anaknya yang dinilai membandel dan membangkang orangtua.Secara
lebih rinci, seorang pemerhati anak dari Malaysia yakni Siti Fatimah (1992)
menyabutkan ada enam faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap anak
dalam keluarga.
Pertama, kemiskinan. Kemiskinan yang
dihadapi sebuah keluarga seringkali membawa keluarga tersebut pada situasi
kekecewaan yang pada gilirannya menimbulkan kekerasan sebagai perwujudan
kegelisahan jiwa dan tekanan yang seringkali dilampiaskan terhadap anak-anak. Kedua,
keluarga tidak harmonis. Misalnya, perceraian dapat menimbulkan problematika
dalam rumah tangga seperti persoalan hak pemeliharaan anak, pemberian kasih sayang,
pemberian nafkah dan sebagainya. Akibat perceraian juga akan dirasakan oleh
anak terutama ketika orangtua mereka menikah lagi dan anak harus dirawat oleh
ibu atau ayah tiri. Dalam banyak kasus tindakan kekerasan sering dilakukan oleh
ayah atau ibu tiri tersebut. Ketiga, dalam kajian psikologis
disebutkan bahwa orangtua yang melakukan tindak kekerasan adalah orangtua yang
memiliki problem psikologis. Mereka senantiasa berada dalan situasi kecemasan (anxiety)
dan tertekan akibat depresi/stres. Secara tipologi ciri-ciri psikologis
yang menandai situasi tersebut antara lain: adanya perasan rendah diri, harapan
terhadap anak yang tidak realistis, harapan yang bertolak belakang dengan
kondisinya dan kurangnya pengetahuan tentang bagaimana cara mengasuh anak yang
baik.
4.
Dampak
Kekerasan Pendidikan pada Anak
Berdasarkan bentuknya, dampak
kekerasan dalam pendidikan (baik pendidikan formal maupun non formal) pada anak
dapat membawa dampak negatif sebagai berikut. Pertama, secara
fisik kekerasan ini mengakibatkan adanya kerusakan tubuh seperti: luka-luka
memar, luka-luka simetris di wajah (di kedua sisi), punggung, pantat, tungkai,
luka lecet, sayatan-sayatan, luka bakar, pembengkakan jaringan-jaringan lunak,
pendarahan dibawah kulit, dehidrasi sebagai akibat kurangnya cairan, patah
tulang, pendarahan otak, pecahnya lambung, usus, hati, pancreas. Sedangkan pada
penganiayaan seksual bisa berakibat kerusakan organ reproduksi seperti: terjadi
luka memar, rasa sakit dan gatal-gatal di daerah kemaluan, pendarahan dari
vagina atau anus, infeksi saluran kencing yang berulang, keluarnya cairan dari
vagina, sulit untuk berjalan dan duduk serta terkena infeksi penyakit kelamin
bahkan bisa terjadi suatu kehamilan. Kedua, secara psikis,
anak yang mengalami penganiayaan sering menunjukkan: penarikan diri, ketakutan
atau bertingkah laku agresif, emosi yang labil, depresi, jati diri yang rendah,
kecemasan, adanya gangguan tidur, phobia, kelak bisa tumbuh menjadi penganiaya,
menjadi bersifat keras, gangguan stress pasca trauma dan terlibat penggunaan
zat adiktif, kesulitan berkomunikasi atau berhubungan dengan teman sebayanya.
Mereka akan menutupi luka-luka yang dideritanya serta tetap bungkam
merahasiakan pelakunya karena ketakutan akan mendapatkan pembalasan dendam.Dari
hasil penelitian dikatakan bahwa penganiayaan pada masa anak menyebabkan anak
berpotensi memiliki gangguan kepribadian ambang sehingga kelak anak juga
berpotensi menderita depresi pada masa dewasanya. Disamping itu timbulnya
gejala disaosiasi termasuk amnesia terhadap ingatan-ingatan yang berkaitan
dengan penganiayaannya (Suyanto & Hariadi, 2002). Selain itu kekerasan yang
terjadi pada anak dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan jiwa anak,
sehingga kreativitas dan produktivitas anak menjadi terpasung, yang pada
akhirnya mengakibatkan self development yang optimal pada diri anak
tidak tercapai. Lebih jauh, jika kekerasan tersebut terjadi di sekolah maka
peserta didik akan menaruh kebencian terhadap sekolah dan jika kekerasan
tersebut terjadi dalam keluarga maka anak akan tidak betah dirumah.
5.
Penanggulangan
Kekerasan terhadap Anak
Kekerasan, sebagai salah satu bentuk
kejahatan tidak akan pernah hilang dari muka bumi ini, sebagaimana tindakan
kejahatan lainnya, namun hal ini tidak berarti bahwa frekuensi, prevalensi dan
insidensi tindak kekerasan terhadap anak tidak dapat di reduksi atau
dinimalisir. Oleh karena itu harus segera ada langkah konkrit untuk
menanggulangi atau
meminimalisirnya.
Pertama, dibutuhkan payung hukum yang dapat
melindungi hak-hak anak dari berbagai kekerasan dan kejahatan. Mengenai hal
tersebut negara telah membuat beberapa kebijakan, diantaranya: Undang-undang
Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam pasal 4 dinyatakan
secara tegas bahwa setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Kedua, pemerintah harus
mensosialisasikan perundang-undangan perlindungan anak baik di lingkungan
pemerintah, aparat hukum maupun masyarakat. Ketiga, pemerintah harus
meningkatkan anggaran di sektor pendidikan sebagaimana diamanatkan oleh UUD
1945 sebesar 20 persen dan meningkatkan kualitas sekolah. Keempat,
terhadap anak yang telah menjadi korban kekerasan harus segera diberikan
pertolongan, agar dapat kembali menjalani kehidupan secara normal dan sehat,
baik fisik maupun psikologis. Bantuan yang diberikan bisa bersifat preventif,
kuratif, dan remidiatif. Bantuan preventif dilakukan
dengan cara menyebarluaskan pemahaman pada masyarakat bahwa tindak kekerasan
terhadap anak merupakan isu anak yang penting dan harus memperoleh perhatian
yang serius, serta mencegah diri sendiri melakukan tindak kekerasan terhadap
anak. Pengembangan kesadaran masyarakat untuk melaporkan dan memberikan bantuan
awal terhadap anak korban tindak kekerasan merupakan tuntutan yang harus
dilakukan sebagai upaya mendidik
masyarakat.
Sedangkan bantuan yang
bersifat kuratif dan remidiatif dilakukan dengan cara menyediakan
lembaga-lembaga rujukan konsultatif bagi berbagai kasus tindak kekerasan anak
yang dapat diakses oleh anak, baik secara langsung, maupun oleh orang dewasa
dan atau masyarakat di sekitar anak yang peduli terhadap kekerasan. Berkaitan
dengan hal tersebut, konsultasi anak tentang tindak kekerasan sebagai wadah
penyaluran aspirasi anak perlu dilaksanakan dalam mewujudkan sebagian hak-hak
anak yang dirasakan masih kurang diperhatikan, baik oleh orang dewasa, maupun
oleh pemerintah. Terutama hak partisipasi dalam menyelesaikan permasalahan yang
berkaitan dengan kehidupannya. Dari konsultasi anak ini diharapkan akan
meningkatkan pemahaman anak mengenai hak-hak anak dan kekerasan pada anak.
Merumuskan masukan tentang prevalensi dan jenis-jenis kekerasan terhadap anak
di rumah, sekolah dan institusi lainnya, seperti panti maupun penjara anak.
Juga merumuskan masukan dan rekomendasi untuk pengembangan langkah-langkah yang
efektif berupa kebijakan, pelayanan, pemantauan dan pelaporan untuk mencegah
serta melindungi anak dari kekerasan.
Kelima, dari
sisi akademis dibutuhkan lahirnya teori alternatif dari pendekatan corporal
punishment, yaitu teori kontruktif yang dapat mengantarkan anak didik
menjadi disiplinan tanpa menggunakan kekerasan. Teori tersebut dapat
digali dari prinsip-prinsip hak asazi dalam dunia pendidikan baik dari
instrumen internasional maupun dari kearifan lokal. Disinilah tantangan
bagi ilmuan pendidikan untuk melahirkan teori kontruktif yang kini sangat
dibutuhkan kehadirannya ditengah-tengah bangsa Indonesia yang sedang melakukan
revitalisasi pendidikan nasional sehingga dapat melahirkan luaran pendidikan
yang beradab dan kompetitif berdasarkan budaya bangsa Indonesia.
4.2 Peran
Guru dalam Perkembangan Psikologi Anak Berdasarkan Landasan Psikologi Pendidikan
4.2.1 Pendidikan
Pendidikan adalah suatu proses membentuk atau mengubah
perilaku. Pendidikan terjadi dengan proses belajar mengajar. Belajar
menunjukkan arah dan tujuan belajar. Memberi materi yang perlu dipelajari
mengetahui manfaat belajar, serta memberi petunjuk cara belajar
yang efisien.
Belajar merupakan proses aktif dari orang yang bersangkutan dan
hanya dapat dilakukan secara individual. Kemampuan belajar setiap
individu berbeda. Belajar dipengaruhi oleh pengalaman dan melalui indera.
Belajar merupakan suatu kebutuhan yang sangat dipelukan oleh
pelajar dan didorong oleh hasil belajar,serta keadaan fisik orang yang
belajar dan lingkungannya.
Pada dasarnya mempelajari sesuatu itu perlu berulang-ulang atau
diulang-ulang, baik mempelajari pengetahuan maupun keterampilan, bahkan juga
dalam kawasan afektif. Makin sering diulang makin baiklah hasil belajarnya.
Situasi emosional pada saat belajar akan mempengaruhi hasil belajarnya. Situasi
emosional itu dapat disimpulkan sebagai perasaan senang atau tidak senang
selama belajar.
OP. Dahama dan OP Bhatnagar mengatakan pendidikan merupakan
proses membawa perubahan yang diinginkan dalam perilaku manusia. Pendidikan
dapat juga didefinisikan sebagai proses prolehan pengetahuan dan
kebiasaan-kebiasaan melalui pembelajaran atau studi.
Jika pendidikan menjadi efektif hendaknya menghasilkan
perubahan-perubahan dalam seluruh komponen perilaku. Perilaku itu harus
diarahkan pada tujuan yang diinginkan. Perubahan-perubahan itu hendaknya dapat
diterima secara sosial, kultural, dan ekonomis, dan menghasilkan perubahan
dalam pengetahuan, ketrampilan, sikap dan pemahaman. Jadi pendidikan itu
penekanannya paling besar ditempatkan pada komponen perilaku individual.
Brubacher (Modern Philosophies of Education). Pendidikan
merupakan suatu proses timbal-balik dari tiap pribadi manusia dalam penyesuaian
dirinya dengan alam, dengan teman, dan dengan alam semesta.
Pendidikan merupakan pula perkembangan yang terorganisir dan
kelengkapan dari semua potensi manusia; moral, intelektual dan jasmani
(pancaindera), oleh dan untuk kepribadian individunya dan kegunaan
masyarakatnya, yang diarahkan demi menghimpun semua aktivitas tersebut bagi
tujuan hidupnya (tujuan akhir).
Pendidikan adalah
proses dalam mana potensi-potensi manusia yang mudah dipengaruhi oleh
kebiasaan-kebiasaan yang baik, oleh alat (media) yang disusun sedemikian rupa
dan dikelola oleh manusia untuk menolong orang lain atau dirinya sendiri
mencapai tujuan yang ditetapkan.
4.2.2 Landasan
Psikologis
Dasar psikologis berkaitan dengan prinsup-prinsip belajar dan
perkembangan anak. Pemahaman terhadap peserta didik, utamanya yang berkaitan
dengan aspek kejiwaan merupakan salah satu kunci keberhasilan pendidikan.
Penyusunan kurikulum perlu berhati-hati dalam menentukan jenjang pengalaman
belajar yang akan dijadikan garis-garis besar pengajaran serta tingkat
kerincian bahan belajar yang digariskan.
Perkembangan peserta didik sebagai landasan psikologis, aspek
yang menentukan adalah pemahaman tumbuh kembang manusia sebagai bekal dasar
untuk memahami peserta didik dan menemukan keputusan. Hal tersebut adalah suatu
tindakan yang tepat dalam membantu proses tumbuh kembang itu secara efektif dan
efisien.
4.2.3 Perkembangan Individu dan Faktor yang
mempengaruhinya
Ø Perkembangan Individu
Perkembangan merupakan suatu perubahan, dan perubahan
ini tidak bersifat kuantitatif, melainkan kualitatif (Dalyono, 1997:78).
Perkembangan adalah proses teradinya perubahan pada manusia baik secara fisik
mapun secara mental, sejak berda dalam kandungan sampai manusia tersebut
meningggal. Proses perkembangan pada anusia terjadi dikarenakan manusia
mengalami kematangan dan proses belajar dari waktu ke waktu.
Kematangan adalah perubahan yang terjadi pada
individu dikarenakan adanya perkembangan dan pertumbuhan fisik dari biologis,
misalnya seorang anak yang beranjak dewasa akan mengalami perubahan pada fisik
dan mentalnya. Sedangkan belajar adalah sbuah proses yang berkesinambungan dari
sebuah pengalaman yang akan membuat suatu individu berubah dari tidak tahu
menjadi tahu (kognitif), dari tidak mau menjadi mau (afektif), dan dari tidak
bisa menjadi bisa (psikomotorik).
Pada seorang anak yang belajar mengendarai
sepeda akan terlebih dahulu diberi pengarahan oleh orang tuanya, lalu anak
tersebut mencoba untuk mengendarai sepeda sampai dapat mengendarai sediri
terlepas dari orang tuanya. Proses kematangan dan belajar sangat menentukan
kesiapan belajar pada seorang, misalnya seseorang yang proses kematangan dan
belajarnyabaik, akan memiliki kesiapan beljar yang jauh lebih baik dengan
seseorang yang proses kematangannya mengalami perubahan dalam berbagai aspek
yang ada pada diri manusia. Aspek-aspek yang ada pada diri manusia tersebut
adalah aspek fisik, mental, emosional, dan sosial yang saling
berkaitan.
Semua manusia akan mengalami perkembngan
dengan tingkat perkembangan yang berbeda, ada yang berkembang dengan cepat, dan
ada pula yang berkembang dengan lambat. Namun demikian dalam proses
perkembangan terdapat nilai-nilai inuversal yang dimiliki oleh semua orng yaitu
prinsip perkembangan.
Prinsip-prinsip
perkembangan tersebut diantaranya sebagai berikut ini.
1.
Perkembangan terjadi secara terus menerus hingga manusia
meninggal dunia.
2.
Kecepatan perkembangan setiap individu berbeda.
3.
Semua aspek perkembangan saling berkaitan dan berhubungan satu
sama lain.
4.
Arah perkmbangan individu dapat diprediksi.
5.
Perembangan terjadi secra berthap dan tiap tahapan mempunyai
karakteristik tertentu.
4.2.4 Pengaruh Hereditas dan Lingkungan
Terhadap Perkembangan
Ø Individu
Menurut Dalyono (1997:143), bahwa setip
perkmbangan pribadi seseorang meupakan hasil interaksi antara hereditas dan
lingkungan. Pengaruh hereditas berasal dari kombinasi-kombinasi “genes”. Genes
adalah molekul-molekul protein submikrokopis yang terdapat dalam sel-sel
“germ”. Perubahan kobinasi dan perubahan genes yang komplek dan unik inilah
menentukan keredias ming-masing idividu.
a.
Nativisme
Schopenhauer
Bayi itu lahir dengan pembawaan baik dan buruk. Pembawaan baik
dan buruk tidak dapat diubah oleh kekuatan dari luar. Keberhasilan pendidikan
ditentukan oleh anak sendiri.
Menurut Subrata (2008:177), para ahli pengikut teori nativisme
berpendapat bahwa perkembangan indivu itu semata-mata ditentukan oleh
faktor-faktor yang dibawa sejak lahir. Sehingga dapat disimpulkan bahwa teori
nativisme adalah teori yang berasumsi bahwa setiap individu dilahirkan ke dunia
dengan membawa faktor-faktor turunan dari orang tuanya dan faktor tersebut yang
menjadi faktor penentu perkembangan individu.
Tokoh teori ini adalah Schoupenhauer dan Arnold Gessel.
Implikasi te0ri nativisme terhadap pendidikan yaitu kurang membeikan
kemungkinan bagi pendidik utnuk mengubah kepribadian peserta didik.
b.
Emprisme
John Lock
Teori empirisme adalah teori yang berasumsi bahwa setiap
individu yang terlahir ke dunia dalam keadaan bersih, sedangkan faktor penentu
perkembangan individu tersebut adalah lingkungan dan pengalaman. Dalam
Suryabrata (2008:178) mengatakan para pengikut aliran empirisme berpendapat
bahwa perkembangan itu semata tergantung kepada faktor lingkungan , sedangkan
dasar tidak memainkan peran sama sekali. Tokoh teori ini adalah John Lock dan
J.B. Watsan, implikasinya teori empirisme terhadap pendidikan yaitu dapat
membeikan kemungkinan sepenuhnya bagi pendidik untuk membentuk kepribadian
peserta didik.
c.
Konvergensi
William Stern
Teori konvergensi adalah teori yang berasumsi bahwa perkembangan
individu ditentukan oleh faktor-faktor keturunan dan faktor lingkungan serta
pengalaman (Suryabrta, 2008:180), atau dengan kata lain teori ini adalah
gabungan dari teori empirisme dan teori nativisme. Tokoh teori ini adalah
Wiliam Stern dan Robert J Havighurst. Implikasinya teori konvergensi terhadap
pendidikan yaitu dapat membikan kemungkinan kepada pendidik untuk membentuk
kepribadian individu sesuai yang diharapkan, akan tetapi tetap memperatikan
faktor-faktor heriditas yang ada pada individu.
4.2.5 Tahapan
dan Tugas Perkembangan serta Implikasinya Terhadap Perlakuan Pendidik.
a.
Tahap dan Tugas
Perkembangan Individu[5]
Asumsi bahwa anak adalah orang dewasa dalam skala kecil (anak
adalah orang dewas mini) telah ditinggalkan orang sejak lama. Sebagaimana
dimaklumi bahwa masa anak-anak adalah suatu tahap yang berbeda dengan orang
dewasa. Anak menjadi dewsa melalui suatu proses pertumbuhan terhadap keadaan
fisik., sosial, emosional, moral, dan mentalnya. Seraya mereka berkembang,
mereka mempunyai cara-cara memahami bereaksi, dan mempresepsi yang sesuai
dengan usianya. Inilah oleh ahli psikologi disbut tahap perkembangan.
Menurut Jean Jacques Rousseau dalam Dalyono (1997:89),
perkembangan fungsi dan kapasitas kejiwaan manusia berlangsung dalam 5 tahap.
Tahap perkembangan masa bayi (sejak lahir-2 tahun), perkembangan masa
kanak-kanak (2-12 tahun), perkembangan pada masa preadolesen (12-15 tahun),
perkembangan pada masa adolesen (15-20) tahun, masa pematangan diri (20…tahun).
Robert Havighurst (1953), membagi perkembangan individu menjadi
empat tahap. Masa bayi dan kanak-kanak kecil (6 tahun), masa kanak-kanak
(6-12 tahun), masa remaja atau adolesen (12-18), dan masa dewasa (18… tahun).
Selain itu, havighurst mendiskripsikan tugas-tugas perkembangan (development
taks) yang harus diselesaikan pada setiap tahap perkembangan sebagai
berikut ini.
1.
Tugas perkembangan masa bayi dan kanak-kanak kecil (6 tahun)
a)
belajar berjalan,
b)
belajar makan makanan yang padat,
c)
belajar berbicara/ berkata-kata,
d) belajar mengontrol
pembuangan kotoran tubuh,
e)
belajar tentang perbedaan kelamin dan kesopanan,
f)
mencapai stabilitas fisiologis/jasmaniah,
g)
belajar berhubungan diri secara emosional dengan orang tua,
saudara, dan orang lain,
h)
belajar membedakan yang benar dan yang salah.
2.
Tugas perkembangan masa kanak-kanak (6-12 tahun);
a)
belajar keterampilan fisik yang perlu untuk permainan
sehari-hari,
b)
pembentukan kesatuan sikap terhadap dirinya,
c)
belajar memahami peran (pria atau wanita),
d) pengembangan kemahiran
dasar dalam membaca, menulis, dan berhitung,
e)
pengembangan konsep-konsep yang perlu untuk kehidupan
sehari-hari,
f)
pengembangan kesadaran diri moralitas, dan suatu skala
nilai-nilai,
g)
pengembangan kebebasan pribadi,
h)
pengembang sikap-sikap terhadap kelompok sosial dan lembaga.
3.
Tugas perkembangan masa remaja (12-18 tahun);
a)
mencapai peranan sosial dan hubungan yang lebih matang sebagai
laki-laki/perempuan serta kebebasan emosional dari orang tua,
b)
memperoleh jaminan kebebasan ekonomi dengan memilih dan
mempersiapkan diri untuk suatu pekerjaan,
c)
mempersiapkan diri untuk berkeluarga,
d) mengembangkan
kecakapan intelektual.
4.
Tugas perkembangan pada masa dewasa (18… tahun);
a)
masa dewasa awal: memilih pasangan hidup dan belajar hidup
bersama, memulai berkeluarga, mulai menduduki suatu jabatan/pekerjaan;
b)
masa dewasa tengah umur: mencapai tanggung jawab sosial,
membantu anak, menghubungkan diri sendiri pada suami/istri sebagai suatu
pribadi, menesuaikan diri kepaa orang tua.
5.
Tugas perkembangan usia lanjut;
a)
menyesuikan diri pada kekuatan dan kesehatan jasmani,
b)
menyesuaikan diri pada saat pendapatan semakin menurun,
c)
menyesuaikan diri
terhadap kematian.
b. Teori Belajar dan
Implikasinya Terhadap Pendidikan
1.
Behaviorisme
Menurut Baharudin dan Wahyuni (208:87), bahwa
aliran behavioristik memandang belajar sebagai kegitan yang bersifat mekanistik
antara stimulus dan respon. Teori ini berasumsi bahwahasil dari sebuah
pembelajaran adalah perubahan tingkah laku yang dapat diobservasi dan
dipengaruhi oleh lingkungan sekitar dengan faktor penentunya adalah penguatan
atau dorongan dari luar. Teori behaviorisme memiliki komponen yang terdiri atas
rangsangan (stimulation), tanggapan (response), dan akibat (consequence).
Tokoh teori ini adalah B.F. Skiner.
Implikasinya terhadap pendidikan adalah
sebagai berikut;
a.
Perlakuan terhadap individu didasarkan kepada tugas yang harus
dilakukan sesuai dengan tingkat tahapan, dalam pelaksanaannya harus ada ganjaran
dan kedisiplinan.
b.
Motivasi belajar berasal dari luar (external), dan harus
terus menerus dilakukan agar motivasi tetap terjaga,
c.
Metode dijabarkan secara rinci untuk mengembangkan disiplin ilmu
tertentu,
d.
Tujuan kurikuler berpusat pada pengetahun dan keterampilan
akadmis serta tingkah laku sosial,
e.
Pengelolaan kelas berpusat pada guru dengan interaksi sosial
sebagai sarana untuk mencapai tujuan tertentu dan bukan merupakan tujuan utama
yang hendak dicapai,
f.
Untuk mengefektifkan belajar maka dilakukan dengan cara menusun
program secra rinci dan bertingkat, serta menutamakan penguasaan bahan atau
keterampilan,
g.
Peserta didik cenderung pasif, sehingga peserta didik diarahkan
pada pemahiran keterampilan melalui pembiasaan beberapa tahap secara rinci.
2.
Kognitif
Teori belajar kognitif
berasumsi bahwa belajar adalah sebuah proses mental yang aktif untuk mencapai,
mengingat, dan menggunakan pengetahuan. Sehingga perilaku yang tampak pada
manusia tidak dapat diukur dan diamati tanpa melibakan mental seperti motivasi,
kesegajaan, keyakinan, dan sebagainya. (Baharudin dan Wahyunu, 2008: 87), atau
dengan kata lain bahwa belajar menurut teori kognitif adaah proses internal
yang kompleks berupa pemrosesan informasi, dikarenakan seiap individu memilki
kemampuan untuk memproses informasi sesuai faktor kognitif berdasarkan tahapan
usianya, sehingga hasil belajar adlah perubahan struktur kognif yang ada pada
individu tersebut.
Tokoh teori ini adalah Jerome Bruner,
implikasinya terhadap pendidikan adalah sebagai berikut ini.
a.
Perlakuan indivdu didasarkan pada tingkat perkembangan kognitif
peserta didik.
b.
Motivasi berasal dari dalam diri individu (intrinsik) yang
timbul bedasarkan pegetahuan yang telah dikuasai peserta didik.
c.
Tujuan kurikuler difokuskan untuk mengembangkan keseluruhan
kemampuan kognitif, bahasa dan motorik dengan interaksi sosial berfungsi
sebagai alat untuk mengmbangkn kecerdasan.
d.
Bentuk pengelolaan kelas berpuat pada peserta didik dengan guru
sebagai fasilitator.
e.
Mengefektifkan mengajar dengan cara mengutamakan program
pendidikan yang berupa pengetahuan terpadu secara hirarkis.
f.
Partisipasi peserta didik sangat dominan guna meningkatkan sisi
kognitif peserta didik.
g.
Tujuan umum dalam pendidikan adalah untuk mengembangkan sisi
kognitif secara optimal dan kemampuan menggunakan kecerdasan secara bijaksana.
3.
Humanisme
Aliran humanistik
memandang bahwa belajar bukan sekedar pngembangan kualitas kognitif saja,
melainkan sebuah proses yang terjadi dalam diri individu yang melibatkan
seluruh bagian atau dominan yang ada. Dominan-dominan tersebut meliputi dominan
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pendekatan humanistik dalam
pembelajaran mmenekankan pentingnya emosi atau perasaan. Komunikasi terbuka dan
nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap siswa. (Baharudin dan wahyuni, 2008:142).
Teori belajar
humanistik berasumsi bahwa belajar adalah fungsi seluruh kepribadian suatu
individu merupakan pribadi utuh yang mempunyai kebebasan memilih untuk
menentukan kehidupannya, memiliki keinginan untuk mengetahui sesuatu,
serta memiliki keinginan untuk bereksplorasi dan mengasimilasi pengalamannya.
Humanisme didasarkan
pada asumsi bahwa; individu adalah pribadi utuh, ia mempunyai kebebasan memilih
untuk menntukan kehidupannya. Indivudu mempuyai hasrat untuk mengetahui
bereksplorasi, dan mengasimilasi pengalaman-pengalamannya. Belajar adalah
fungsi seluruh kepribadian individu, dan akan bermakna jika melibatkan seluruh
kepribadian.
Tokoh teori ini adalah Carl Rogers,
impikasinya terhdap pendidikan adalah sebagai berikut ini.
a.
Perlakuan terhadap individu didasarkan akan kebutuhan individual
dan kepribadian peseerta didik.
b.
Motivasi belajar berasal dari dalam diri, atau bersifat
intrinsik berdasarkan pemuasan kebutuhan-kebutuhan individual peserta didik.
c.
Metode belajar menggunakan metode pendekatan terpadu dengan
menekankan kepada ilmu-ilmu sosial, atau mempelajari kehidupan sosial.
d.
Tujuan kurikuler mengutamakan pada perkembangan segi sosial,
keterampilan berkomunikasi, dan kemampuan untuk peka terhadap kebutuhan
individu dan orang lain, serta tanggap terhadap kebutuhan kelompik dan
individu.
e.
Bentuk pengelolaan kelas berpusat pada peserta didik yang
mempunyai kebebasan memilih dan guru hanya berperan untuk membantu, dan bukan
untuk mengarahkan.
f.
Untuk mengefektifkan mengajar, pengajaran disusun dalam bentuk
topik-topik terpadu berdasarkan pada kebutuhan peserta didik., secara
perorangan
g.
Partisipasi peserta didik sangat dominan, dengan mengutamakan
partisipasi aktif peserta didik.
h.
Kegiatan belajar peserta didik mengutamakan belajar melalui
pemahaman dan pengertian, bukan hanya memperoleh pengetahuan
4.3 Dampak Kekerasan Guru Terhadap Psikologi
Anak
Dampak
yang akan muncul dari kekerasan akan melahirkan pesimisme dan apatisme dalam
sebuah generasi. Selain itu terjadi proses ketakutan dalam diri anak untuk
menciptakan ide-ide yang inovatif dan inventif. Kepincangan psikologis ini
dapat dilihat pada anak-anak sekolah saat ini yang cenderung pasif dan takut
berbicara dimuka kelas, bolos ketika guru galak mengajar. Sedangkan dalam
keluarga, anak yang sering diberi hukuman fisik akan mengalami gangguan
psikologis dan akan berperilaku lebih banyak diam dan selalu menyendiri selain
itu terkadang melakukan kekerasan yang sama terhadap teman main, kekerasan
terhadap adik kelas, terjadi senioritas dan kekerasan lain dalam dunia
pendidikan.
Apa saja dampak
kekerasan pada siswa? Kekerasan yang terjadi pada siswa di sekolah dapat
mengakibatkan berbagai dampak fisik dan psikis, yaitu:
·
kekerasan secara fisik mengakibatkan organ-organ tubuh siswa
mengalami kerusakan seperti memar, luka-luka, dll.
·
trauma psikologis, rasa takut, rasa tidak aman, dendam,
menurunnya semangat belajar, daya konsentrasi, kreativitas, hilangnya
inisiatif, serta daya tahan (mental) siswa, menurunnya rasa percaya diri,
inferior, stress, depresi dsb. Dalam jangka panjang, dampak ini bisa terlihat
dari penurunan prestasi, perubahan perilaku yang menetap,
·
siswa yang mengalami tindakan kekerasan tanpa ada
penanggulangan, bisa saja menarik diri dari lingkungan pergaulan, karena takut,
merasa terancam dan merasa tidak bahagia berada diantara teman-temannya. Mereka
juga jadi pendiam, sulit berkomunikasi baik dengan guru maupun dengan sesama
teman. Bisa jadi mereka jadi sulit mempercayai orang lain, dan semakin menutup
diri dari pergaulan.
·
Hukuman fisik biasanya dijalankan oleh guru di bawah kondisi
tekanan emosional yang dipicu oleh perilaku murid. Akibat langsung pada
pendidik sesudah melaksanakan hukuman fisik yaitu naiknya tekanan darah,
disusul dengan turunnya ketegangan emosi. Ini sebenarnya timbul dari
kehendaknya sendiri, self reinforced. Si guru akan berkata
“Sekarang aku sudah merasa baik lagi”. Situasi ini menuntut kendali-diri
pendidik demi kepentingan jangka panjang peserta didik.
·
Murid yang mengalami hukuman fisik akan memakai kekerasan di
keluarganya nanti, sehingga siklus kekerasan makin kuat. Gershoff, yang
meneliti kasus ini selama 60 tahun sejak 1938, menemukan sejumlah perilaku
negatif akibat dari kekerasan, seperti perilaku bermasalah dalam agresi,
anti-sosial, dan gangguan kesehatan mental. Kekerasan tidak mengajar murid
untuk bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dan tidak
menghentikan perilaku keliru jika mereka ada di luar pantauan orangtua dan guru
(Ad hoc Corporal Punishment Committee (2003).
Murid itu, sebagai korban, kehilangan haknya atas
pendidikan, dan haknya untuk bebas dari segala bentuk kekerasan fiisik dan
mental yang tidak manusiawi. Martabat mereka direndahkan. Pertumbuhan dan
perkembangan diri mereka dihambat.
BAB
V
KESIMPULAN
Pendidikan dilihat dari sudut pandang tertentu akan
berbeda pengertiannya akan tetap maksudnya tertuju pada peningkatan kualitas
sumber daya manusia. Didalam Undang-Undang Sitem Pendidikan Nasional No.20
Tahun 2003, disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan berencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Namun seringkali pendidikan dikaitkam dengan
kekerasan yang ditimbulkan oleh faktor-faktor tertentu yang dilakukan oleh
pendidik (guru) terhadap anak didiknya, yang seharusnya lembaga pendidikan
adalah sarana yang bertujuan untuk mendidik, mengembangkan potensi,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Berdasarkan
semua data yang telah kami kumpulkan ternyata masih ada guru yang melakukan
tindakan kekerasan pada saat proses belajar mengajar seperti, membentak,
melemparkan benda tumpul kepada anak didiknya, sehingga anak yang tadinya ceria
menjadi murung, atau yang berani menjadi seorang pemalu atau kehilangan
kepercayaan diri. Jika Kita lihat peran guru karena pada hakekatnya adalah
seorang pendidik yang harus menjadi seorang panutan atau contoh bagi peserta
didik, sehingga peserta didik merasa bahwa guru tersebut dapat menjadi seorng
figure yang dapat memberikan motivasi dan kasih sayang.
Adapun
sebagai contoh dari satu sekolah dasar di sekolah dasar di sukabumi seorang
guru masih suka melakukan tindakan kekerasan kepada anak didiknya sehingga
membuat anak tersebut menjadi takut. Pada kejadiannya anak tersebut senang
bercanda dalam kelas di waktu proses pembelajaran berlangsung dan guru tersebut
mencubit sekaligus melemparnya dengan penghapus papan tulis, seharusnya sebagai
guru yang professional tidak berbuat sedemikian mungkin, seharusnya guru
tersebut menasehatinya dengan baik, agar
perkembangan psikologi anak tidak terganggu.
Upaya penanggulangan kekerasan
terhadap anak menjadi kewajiban pemerintah, yang di dukung oleh keluarga dan
masyarakat. Masyarakat ternyata belum sadar bahwa anak memiliki hak penuh untuk
diperlakukan dengan sebaik-baiknya. Anak harus mendapatkan bimbingan, dan
perlindungan yang baik, sehingga anak bisa tumbuh dan berkembang dengan baik
serta jauh dari berbagai tindak kekerasan. Kita sadari bahwa kekerasan telah
menghancurkan masa depan anak.
DAFTAR
PUSTAKA
Prof. Dr. Hamalik, Pemar., (1999). Perencanaan Pengajaran
Berdasarkan Pendekatan Sistem. CV. Rajawali. Jakarta.
lowrence A. Pervin, Daniel Cervone, Oliver
P. John.(1994).Psikologi Kepribadian teori & Pendidikan.CV. ALPABETA. Bandung
Prof. Dr Hj. Samsunuwiyati Marat, S.Psi.(
2011). Psikologi Perkembangan.Rajawali
Pers. Jakarta
Dr. Kartini kartono.(2005). Psikologi Umum. PT
Raja Grafindo Persada. Jakarta
Sigmund Frued.( 2001).Psikoanalisis.CV.
Rajawali. Jakarta.
John W. Santrock.(2003). Psikologi Pendidikan.
PT. Gunung Agung. Jakarta
Drs. Sumadi Suryabrata, B.A., M.A., Ed. S.,
Fh.D.(2011). Psikologi Pendidikan. Rajawali Pers. Jakarta.
UU SPN No. 20 thn 2003, dalam sagala, 2005.
Metode Penelitian
Administrasi ; Dr. Sugiyono Penerbit Alfabeta .Bandung.
Amirin, Tatabg M., (1984). Pokok-Pokok Teori Sistem. CV Rajawali.
Jakarta.
Campbell, Bonita J., (1979). Understanding Information Systems.
Prentice-Hall of India. New Delhi.
Henderson, Stella van Petten., (1959). Introduction to Philosophy of Education
(Terjemahan). The University of Chicago Press. Chicago.
Mudyahardjo, Redja.,
(2001). Pengantar Pendidikan. PT Raja
Grafindo Persada. Jakarta.
--------, (1989). Dasar-Dasar Kependidikan. IKIP Bandung.
Poerbakawatja, Soegarda dan Harahap, H.AH.
(1982). Ensiklopedi Pendidikan, Edisi
Kedua. PT. Gunung Agung. Jakarta.
Soelaeman, M.I. (1983). Landasan Pendidikan. IKIP. Bandung
Tirtaraharjda,
Umar dan Lasulo., (1994). Pengantar
Pendidikan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depdikbud. Jakarta.
[1] Alamat url : http://poojetz.wordpress.com/2011/01/13/tindak-kekerasan-guru-terhadap-siswa-pada-saat- pembelajaran/
[2] Psikologi Umum. Dr. Kartini Kartono PT. Raja Grafindo Persada
JAKARTA, Psikologi Sigmun Frued, Psikologi Kepribadian teori & Pendidikan
Lawrance. A Pervin. Daniel Cervone, Oliver P.Jhon, Psikologi Pendidikan, Jhon W
Sentrock, Psikologi Pendidikan Dr. S. Seomadi Suryabrata, B.A., M.A.,Ed.S.,Fk,
Perencanaan Pengajaran berdasarkan pendidikan system, Prof Dr. Peman Hamalik ;
Penerbit PT, Remaja Rosdakarya. Bandung., http://sofyanfu.blogspot.com/2009/05/strategi-pemebelajarn-ips.html pada pukul 10:47 pagi WIB Kamis, 10 Januari
2013, Psikologi social, Shelley E. Taylo, LetitianAnne Pepla, David O. Sears
Penerbit Kencana Prenada Media Group. JAKARTA
[3] Dikutip dari buku Landasan
Pendidikan oleh Sub Koordinator MKDP Landasan Pendidikan Universitas Pendidikan
Indonesia Hal 91 Tahun 2010, DRS. Uyoh
Sadulloh, MPd.
[1] Dikutip dari buku Landasan
Pendidikan oleh Sub Koordinator MKDP Landasan Pendidikan Universitas Pendidikan
Indonesia Hal 26 Tahun 2010, DRS. Uyoh
Sadulloh, MPd.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar